Kamis, 14 Februari 2013

Cerpen Remaja: SAHABATKU CINTAKU

SAHABATKU CINTAKU
Cerpen Sahabatku Cintaku
Oleh: Dellia Riestavaldi

Kamu, orang yang membuatku nyaman, dan bahagia. Selalu menjagaku tanpa lelah. Tetapi rasa ini sungguh menyiksaku, menunggu kepastian tanpa balasan. Dia sahabatku, tapi dia juga nafasku, dia Dicky Aprilio. Sejak pertama aku kenal dia, tatapannya itu masih teringat jelas di memoriku, senyumannya membuatku tenang dan damai  dia selalu menjagaku kapanpun dan dimanapun, setiap aku down dia selalu memegang erat tanganku dan membuatku bangkit lagi.

Mungkin aku terlalu egois terlalu berharap untuk memilikinya, tapi aku tak bisa selalu berpura-pura untuk tidak mencintainya. Tapi disisi lain kalau emang kita jadian aku TAKUT, aku sangat takut kehilangan dia, aku gamau dia hilang dari mata dan hatiku. Tapi di sisi lain juga aku pengen banget milikkin dia, supaya semua orang tau dia milik aku bukan milik orang lain.

Aku selalu menahan rasa sakit ini ketika teman-temanku menanyakan kedekatan ku dengan dicky selama ini, aku sakit ketika aku harus bilang “ bukan, dia hanya temanku.” Dan merekapun menjawab “padahal udah cocok banget, jadian aja.” Aku hanya membalas dengan senyuman. Tapi perlahan masalah itu sudah menjadi hal yang biasa untukku. Karna Dicky mengajarkanku untuk bertindak dan bersikap yang dewasa. Aku ga berani bilang Dicky adalah segalanya buat aku, karna aku takut segalanya aku hilang.

Aku berusaha menjadi wanita yang dewasa yang ingin selalu berfikiran positif, jadi aku kadang berpikir kalau hubungan aku sama Dicky sekarang jauh lebih bahagia  aku takut jika kita pacaran lalu putus dan gak bisa deket lagi, mending betemen kaya sekarang dan dia gak akan ninggalin aku, kecuali dia mempunyai cintanya yang baru.

D-I-C-K-Y seseorang yang paling berharga buat aku sekarang, andaikan aku mampu berkata di depannya bahwa aku sayang dia dan gamau kehilangan dia mungkin aku akan jauh lebih tenang, tapi beberapa kali aku mencoba untuk mengatakannya malah yang ada hanya gemetaran yang ku rasa, mungkin belum saatnya aku berkata seperti itu.

Tawa dan candanya adalah warna di hidupku, aku tak ingin semuanya berlalu begitu cepat. Dicky juga adalah salah satu alesan yang membuatku betah di masa SMA yang dulu yang aku anggap biasa aja. Aku sekarang masih duduk manis di sampingnya menjadi teman biasa, entah akankah posisi itu berubah, akupun tak tahu 
*****

Cerpen Romantis: In My Dream

In my Dream
Cerpen Romantis

Oleh Aprilana Dewi

“mengatakan aku mencintaimu adalah kata-kata yg ingin aku ucapkan setiap hari dalam hidupku
maukah kau menikah denganku? Aku ingin mencintaimu dan hidup bersamamu
aku ingin kau bersandar di bahuku saat kamu tertidur
maukah kau menikah denganku? Dengan segenap hatiku, apakah kamu setuju ?”

Arlini adalah sosok perempuan yang sudah lama diidamkan Reo . Lelaki yang masih saja membujang karna menunggu cinta Arlini untuknya padahal dia sudah berusia 25 tahun . Arlini dan Reo memang dekat , mereka berdua satu kampus , Arlini masih semester 6 sementara Reo masih skripsi dan sebentar lagi dia akan lulus .
Tak ada kriteria yang lain untuk gadis impiannya kecuali Arlini . Reo sangat mencintai Arlini . Dia sangat manis , lembut dan baik sekali . Terkadang Reo tak sanggup menahan perasaannya sendiri yang membuat setiap malam matanya sulit terpejam .

Selain kuliah, Reo juga punya band . Dia sebagai vokalis dan pencipta lagu . Ada 3 personil pada band yang ia namakan “KRY” yang berarti Kyuhyun,Reo dan Yesung. Salah satu lagu yang ia karang untuk Arlini adalah yg berjudul “ In My Dream “. Mengapa ia mengarang lagu tersebut ? Karna seperti judulnya “ In My Dream “, Lagu itu tercipta seketika ada sebuah mimpi merasuki malamnya . Saat itu Arlini datang pada Reo dengan tersenyum manis . Menghampiri Reo yang kini tengah menggengam sebuah cincin pernikahan .

Malam itu Arlini Nampak cantik, sangat cantik bahkan melebihi kecantikan seorang bidadari . Reo terpesona akan itu . Lalu ia persiapkan jauh dalam hati untuk menyampaikan isi hati kepada Arlini dengan memegang kedua tangan Arlini .

“ Arlini, perlu kau tau bahwa sesungguhnya aku sangat mencintaimu.., aku sangat sulit untuk hidup tanpamu . Maka dari itu menikahlah denganku . Kamu mau kan ? “

Seraya dengan indahnya sebuah melodi yang mengiringi kisah ini… Seperti lagu ini teralun begitu saja Arlini mengangguk …

Tak segan Reo memeluk erat Arlini dengan kekuatan cinta yang sudah benar-benar terbalaskan . Dan itu artinya Arlini sudah akan menjadi seseorang yang menemaninya setiap detik,menit,jam dan hari-harinya.

“meskipun kita menjadi tua
kita akan trus tersenyum dan hdup bersama
maukah kau menikahiku? Apakah kamu mau untuk menjalani sisa hdupmu bersamaku
tidak peduli seberapa lelah kita
aku akan selalu disampingmu
Hari-hariku yg akan kita lakukan bersama
aku kan slalu di sampingmu
aku telah menyiapkan cincin ini sejak dulu
aku mohon pasang cincin yg bersinar ini di jariku
ingat janji yg telah kita buat bersama, maukah kau menikahiku ?”

Setelah Reo melepaskan pelukannya, Reo akan menyematkan cincin yang ia genggam untuk Arlini . Arlini nampak bahagia dengan ini . Membuat Arlini sebahagia ini bagaikan puncak yg paling ujung kebahagiaan dalam hidup Reo .

Mendaratkan sebuah kecupan di kening Arlini seakan membangun gejolak semangat hidup Reo . Ini adalah keindahan … adalah sebuah cinta yang manis .

“ Aku mau menikah denganmu Reo “ ucap Arlini pelan.. pelan sekali . Namun mampu terdengar oleh Reo .
Namun, langkah Arlini semakin menjauh secara sangat perlahan tanpa Reo sadari .. Lama kelamaan Arlini semakin menyamar..memudar dan seperti tertutupi awan gelap… Sedangkan Reo tak bisa bergerak untuk mengejar Arlini .

“ Arlini !!!!!!!!!!!!!!! “ Teriak Reo keraaaaaaassssssss bahkan sangat keraas.. Hingga ia tersadar ..


Barusan dia hanya melewati momen indah yang bersifat sementara yaitu mimpi . Yesung dan Kyuhyun yang juga teman kosnya pun terkejut melihat aksi Reo . Ia berteriak memanggil nama Arlini sangat keras sekali .

Setelah Yesung dan Kyuhyun mendekat, mereka mendapati Reo sedang menitihkan air mata dengan memegang erat kepalanya . Wajahnya memerah dan mengekspresikan kekecewaan yang sangat mendalam .
Jika Reo tau ini hanya mimpi, mungkin dia tak akan bangun lagi …

“Aku berharap tidur seperti ini selamanya
Aku terbangun juga masih dengannya
Aku berharap tidak bermimpi lagi
Hari inipun aku bahkan dapat berdampingan bersamanya
Jika hari ini aku dapat melihatmu lagi, jika dapat seperti itu, jika kau kembali
Jika kau dapat sekali lagi ada di sampingku, jika dapat seperti itu
Aku tidak ingin terbangun
Jika dapat tertidur lagi dan itu akan terulang..…..”

Hari-hari Reo semakin menghitam kalbu seketika mimpi itu datang . Mimpi ini seperti narkoba… Menagihkan… Jika tak mampu mengulang lagi, akan sakit seperti ini . Setiap hari harus memojok di kamar dan merenungkan hal itu lagi dan lagi walaupun sangat terasa mustahil untuk melupakannya .

“diam-diam aku menertawakan diriku sendiri
Aku tidak percaya seberapa dalam aku jatuh untukmu
Kau masuk ke pikiranku dengan rangakaian imajinasi.
Sekarang aku seperti orang bodoh yang jatuh cinta
Semuanya , aku, sekarang, kau
Aku sudah jatuh cinta denganmu
Lihat aku dan aku berjanji
Bahwa aku tidak akan membiarkan engkau pergi
Bahkan jika dunia berakhir, aku akan mencintaimu seperti jam abadi yang tak pernah berakhir”

Bahkan kondisi Reo semakin parah ketika Arlini memperkenalkan tunangannya yang bernama Siwon kepada Reo . Wajar, Reo adalah teman terdekat Arlini . Dengan cara seperti apalagi Reo menahan amarahnya untuk ini ? Ia tidak boleh menunjukan sakitnya cinta ini di hadapan Arlini . Sebagai teman terdekatnya, Reo harus menampakan ekspresi bahagianya ketika seseorang yang sangat ia cintai tengah dimiliki orang lain .

Lambat laun Arlini menghilang dari kehidupan Reo seketika Arlini sudah lulus . Begitupun juga dengan dirinya. Mungkin ini sudah jalannya, Arlini diciptakan bukan untuk dirinya . Namun kenangan di mimpi itu.., takkan mungkin bisa Reo hapus …

“I Still Love You and We will be theLove Truly in My Dream …”

TAMAT

Cerpen Kenangan Pahit di Putih Abu-Abu

Kenangan Pahit di Putih Abu - Abu
Cerpen Kenangan Pahit
Adella Puspa Aprilia
Ujian nasional telah berlalu seminggu yang lalu. Sementara itu Alifia terus menerus memandang bingkai foto yang di pegangnya sedari tadi. Di foto itu, tampak ia sedang tersenyum manis dan di sebelahnya ada .. Reza. Pacarnya saat ini, Reza satu sekolah dengan Alifia. Mereka sudah lama berpacaran. Sejak mereka kelas 10 dulu tepatnya.

Rasa takut terus menghampiri Alifia. Ia takut ketika lulus nanti Reza memutuskan hubungan dengannya, atau kemungkinan lain yang mungkin bisa saja terjadi. Ia begitu menyayangi sosok Reza. Bahkan karnanya, Reza yang tadinya bernotaben anak nakal sekarang berubah menjadi anak yang lebih sopan dan lebih baik dari sebelumnya. Mereka berdua telah berjanji bila lulus nanti akan satu perguruan tinggi.

Ringtone lagu Rihanna berjudul we found love berbunyi keras saat Alifia sedang asyik-asyiknya memandangi fotonya dan Reza. Di layar handphone tertulis REZA LOVE calling. Seketika itu wajah Alifia berubah menjadi wajah kebahagiaan.


"Halo?", sapa suara di seberang sana.

"Iya beb, ada apa?"

"Lagi apa kamu beb?"

"Lagi nyantai aja, kamunya?"

"Iya sama nih, ntar malem nonton yuk"

"Ayukk"

"Ntar aku jemput ya beb jam 7, dandan yang cantik. OK? Loveyou babe"

KLIK! telfon dimatikan.

Alifia tersenyum senang lalu berdiri, mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi.

30 menit kemudian ...

TAADAAAH!! Alifia tampak cantik mengenakan kaos pink di padukan dengan celana jeans 3/4 dan dibubuhi dengan sedikit lipgloss di bibirnya serta tatanan rambut dikucir buntut kuda. Perfecto!

"Mamaaa gimana cocok gak?", Tanya Alifia

"Cocok kok sayang, gaya nya anak muda dan sederhana banget. mama suka", Mama melihat anaknya kagum.

TIN!! TIN!!

Suara klakson motor Reza.

"Mama, aku berangkat dulu yaa", kata Alifia sambil mencium pipi Mamanya. Lalu segera beranjak dan pergi bersama Reza.

Di perjalanan ...

"Za, kita mau nonton film apa sih?", tanya Alifia penasaran

"Kita ga nonton film ko sayang, kita nonton pemandangan", jawab Reza datar.

"Hah?"

"Udah deh ntar kamu juga tau tempatnya"

Setelah sampai ..

"Liat deh Vi, bagus kan pemandangan dari sini?" kata Reza sambil menggenggam lembut tangan Alifia.

"Iya Reza, terus kamu ngapain bawa aku ke sini?" tanya Alifia penasaran.

"Aku mau ngomong sesuatu .."

"Apa?"

"Lulus SMA ini aku akan pindah ke Ausi Vi, karna Papa akan pindah kerja disana.."

Hening.

"Vi.."

"Hem.."

"Kok diem?"

"Kamu mau ninggalin aku disini sendiri Za? kamu tega? hah! aku salah apa sih sama kamu! tega yaa kamu!" Alifia melepaskan genggaman Reza. Air matanya pecah menghujani pipinya. Perasaannya tak menentu kali ini.

"Bukan gitu Vi, aku sayang sama kamu. SELALU SAYANG KAMU! percaya sama aku please. Aku akan balik ke Indonesia setelah 5 tahun disana. Tunggu aku ya " Reza memeluk Alifia.

"Reza.."

"Iya sayang"

"I love you"

Alifia merangkul leher Reza lalu mencium bibirnya lembut.

"Aku akan nunggu kamu Za. Entah itu 5 tahun 100 tahun bahkan 1000 tahun kamu akan aku tunggu"

Reza tersenyum manis sekali, namun tidak semanis hati Alifia saat ini.

"Pulang yuk, udah malem"

"Yuk"

Di tengah perjalanan..

Alifia terus memeluk Reza. Ia tidak mau melepaskannya. Membuat konsentrasi Reza terganggu.

TIIIINNNNNNNN!!!! BRAAAKKKKK!!

Sebuah bus dari arah samping menabrak Alifia dan Reza. Mereka koma. Selama beberapa minggu lamanya.

Sayang, nyawa Reza tidak tertolong. Ia mendahului Alifia yang sedang terbaring koma.

Seminggu Kemudian ...

"Mmmhh" erangan kecil terdengar di telinga Mama Alifia.

"Alifia? Kamu udah sadar sayang? Dokterrr!!!" Panggil Mama.

Dokter segera memeriksa keadaan Alifia.

"Bu, pasien sudah sadar saat ini, sejauh ini kami menemukan kemajuan pada pasien." kata dokter.

"Saya boleh masuk dok?" Tanya Mama.

"Silahkan"

Mama masuk ruang rawat Alifia.

"Sayang, kamu udah sadar?"

"Reza mana ma? aku kangen dia. Aku mimpi Reza ninggalin aku. Itu ga bener kan?"

Mama hanya menunduk sedih.

"Ma! jawab Reza manaa!! maaa!! jangan bilang kalo.."

"Reza udah ga ada Vi, dia meninggal"

"Gakkk!! gak mungkin!! Reza bilang dia ga bakal ninggalin aku!! Reza pasti bohong!! ga mungkinnnnn!!!!!!" Teriak Alifia. Cairan hangat ber air mengalir lembut di pipinya.
*****


Takkan pernah habis air mataku
Bila ku ingat tentang dirimu
Mungkin hanya kau yang tahu
Mengapa sampai saat ini ku masih sendiri
Adakah disana kau rindu padaku
Meski kita kini ada di dunia berbeda
Bila masih mungkin waktu berputar
Kan kutunggu dirimu
Biarlah ku simpan sampai nanti aku kan ada di sana
Tenanglah diriku dalam kedamaian
Ingatlah cintaku kau tak terlihat lagi
Namun cintamu abadi

Cerpen Romantis: WANT YOU

WANT YOU
Oleh Bella Danny Justice

“maafkan aku fi, aku menyukai Priscilla. Aku mendekatimu supaya aku bisa kenal dengannya. Maafkan aku...”

Sudah 1 tahun berlalu tapi perkataan Jun masih teringat jelas dalam pikiranku. Setelah hubungan yang kami jalin selama 5 bulan, akhirnya ia mengaku bahwa ia berpacaran denganku hanya supaya ia bisa dekat dengan kakakku Priscilla. Pertama kali aku mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya aku memang merasa sangat jengkel. Aku seperti manusia bodoh, mudah di bohongi dan di sakiti.

Namun sekarang aku bukan lagi seorang perempuan berseragam putih abu-abu yang terkenal labil. Aku sudah menjadi mahasiswi dan aku harus bangkit dari keterpurukanku dalam masalah percintaan. Sedangkan kakakku Priscilla kini tengah menjalani praktek di rumah sakit Kasih Bunda yang terkenal.

Dari lahir aku tidak pernah akrab dengannya, apalagi karna masalah Jun aku jadi semakin membencinya. Dia selalu merebut pria yang dekat denganku sejak SMP. Tak terlukiskan rasa kekesalanku pada Kak Silla. Aku layaknya bom waktu yang dapat meledak kapan saja, terlebih jika menyangkut hal yang berurusan dengan kakakku.

“Fi, tolong kasih bekal makan siang ini ke kakak kamu ya. Kampus kamu kan searah sama rumah sakit Kasih Bunda.” Mama menyodorkan rantang makanan itu kepadaku. Tapi aku tidak segera mengambilnya. Melihat rantangnya saja membuat hatiku panas, apalagi memberikannya pada nenek sihir itu.

Aku melirik sekilas rantang makanan tak berdosa itu. “Ngga ah ma! Aku ga mau! Mama suruh mas Jono aja yang anterin ke kakak. Lagian aku nanti bisa telat masuk kelas kalau harus mampir dulu ke rumah sakit.” Sangkalku.

“Gak bisa Fi, mas Jono mau servis mobil. Udah nih pokoknya mama ga mau tau kamu harus kasih ini sama kakak kamu, titik!” mama menarik tanganku dan menyangkutkan genggaman rantang itu kedalam telapak tanganku dengan paksa.

Hahhh...benar-benar hari yang menyebalkan! Keluhku dalam hati.

Sesampainya dirumah sakit aku langsung memasuki ruang praktek kerja kakakku tanpa permisi. Tapi beberapa saat aku mencari-cari sosoknya rupanya ia tidak ada. Yang aku lihat hanya seorang pasien sedang berbaring di ranjang dengan matanya yang diperban.

Ia terbangun dari posisi rebahannya dan bersandar di punggu ranjang. “Dokter Silla, apa itu kau?” aksen bicaranya seperti orang barat, bahasa Indonesianya pun terdengar kurang fasih.

“Mmm...ma-maaf aku bukan Dokter Prisicilla, aku kemari hanya ingin mengantarkan bekal makan siang ini untuknya. Maaf ya, aku permisi dulu.” Jawabku seperti orang salah tingkah. Aku meletakkan rantang itu dengan kasar dan bersiap pergi dari sana.

“wait up!” sahutnya membuatku menghentikan langkahku yang tergesa-gesa.

“what else?” aku menoleh ke arahnya dan menengok jam tangan dengan gelisah.

“who are you?” tanyanya dengan nada datar dan dingin.

“i’m Fioren, Priscil’s little sister. Sorry, i have to go now. Bye.” aku langsung mengaktifkan langkah seribu untuk mengejar waktu yang sangat mepet untuk sampai ke kampus.

Oh My God! Bisa telat nih!
###

Dengan selamat sentosa aku sampai kelas tepat waktu, tetapi selama jam kuliah berjalan hatiku tidak tenang. Aku gelisah dan terus memikirkan pasien laki-laki yang ada di kamar praktek kakakku itu. Konyol sekali, tapi aku ingin bertemunya lagi. Rasa penasaranku ini tak dapat terbendung, dengan nekat sepulang kuliah aku pun memutuskan untuk datang ke tempat kakakku.

“eh Fi, mau kemana? Kita ga jadi nonton?” ujar Gisel. Ia memperhatikanku yang sedang merapihkan buku seperti orang kebakaran jenggot.

“aduh..jangan sekarang deh Gis! Gue ada urusan nih, besok aja ya. Byee..” seruku seraya meninggalkan kelas dan melambaikan satu tangan pada temanku Gisel.

Tiba-tiba.. BAAAMM!!

“aduduh...awhh...” erangku kesakitan. Tubuhku jatuh terduduk ke lantai dan buku-buku yang ku pegang berhambur berantakan. Tak lama aku melihat guliran tangan yang seolah berkata “mari, aku bantu kau berdiri.”

“maaf, aku tidak sengaja. Mari, aku bantu kau berdiri.” Aku meraih genggaman tangan itu lalu menyibakan debu yang menempel di celana panjangku.

“sekali lagi aku minta maaf.” Katanya lagi. Pria ini tampan sekali... pujiku dalam hati.

“ah, ya tidak apa-apa.” Ucapku sambil menorehkan senyum sekenannya. Aku baru ingat bahwa aku ingin ke tempat praktek kakakku. Ya ampun, kalau jam segini pasti ia sudah pulang. Dengan terpaksa aku mengurungkan niat untuk pergi kesana.

“ini..” Laki-laki itu mengulurkanku buku-buku yang tadi berserakan kepadaku.

Aku mengernyitkan dahi dan menatap matanya sepintas. “t-terimakasih, maaf aku sudah menabrakmu.” Pria ini...sepertinya aku mengenalnya? Aku kembali memperhatikan wajahnya dengan seksama. Memandang wajahnya-membuang pandanganku-memandang wajahnya-membuang pandanganku... Aku ingat orang ini!

“oya, aku harus buru-buru pulang untuk menyiapkan makan malam. Bye.” Aku tau orang ini, karena itu aku mencari alasan ingin “menyiapkan makan malam” lalu segera pergi dari hadapannya. Ya, walaupun sebenenarnya aku tidak bisa memasak, tapi itu satu-satunya alasan yang melintas di otakku.

Pria itu menahan aku. Ia menarik pergelangan tanganku. “jangan pergi Fioren, aku harus menjelaskan sesuatu padamu.”

Jun, apa lagi yang kau inginkan dari diriku? Tidak puaskah kau telah menyakitiku? Kenangan masa lalu seakan muncul kembali ke permukaan. Aku sungguh tidak menginginkan ini terjadi. Tapi, tak kupungkiri aku masih menyimpan rasa terhadapnya.

Kami pergi ke suatu restauran yang begitu asri dan indah pemandangannya. Aku tidak tau tempat apa ini. Aku tidak tau kemana ia membawaku. Yang aku tau sekarang aku berada di sebuah daerah pegunungan. Sudah 3 tahun aku tidak bertemu dengannya semenjak kelas 1 SMA karena aku meminta pada mamaku untuk pindah sekolah, dan selama itu juga aku bisa lihat penampilannya berubah dari yang dahulu.

Sekarang ia terlihat lebih tinggi dan rambut spikenya kini berubah dengan poni menyamping yang menutupi sebagian keningnya. Tidak salah kalau aku pernah jatuh cinta padanya, meskipun ia hanya mempermainkanku tetapi aku tidak menyesal.

“mm.. Fio, apa kau masih memendam kebencian padaku?” tuturnya membuka pembicaraan di tengah kesunyian kami.

“hanya saat kau mengatakan bahwa kau menyukai kakakku.. hanya saat itu aku membencimu..” ucapku tanpa menatapnya dan melemparkan pandangannku pada pegunungan yang diselimuti kabut tebal.

“aku datang menemuimu karna aku ingin mengatakan suatu hal yang dulu tidak sempat aku sampaikan..” wajahnya nampak pucat pasih karna gugup. Jun menelan ludahnya dan berusaha memandangku.

“setelah aku menyatakan perasaanku pada kakakmu, ia menolakku. Dan ketika itu aku sadar bahwa aku benar-benar menyukaimu. Dulu aku tidak bersyukur telah mendapatkan wanita sepertimu. Karena itu, sekarang... aku sungguh minta maaf kepadamu Fi, aku ingin kau kembali menjadi wanita-ku.” Ia menatapku dengan wajah memelas dan kening yang berkerut sedih.

Aku tidak peduli lagi. Aku sudah melupakannya. Aku meninggalkan Jun dari tempat makan itu. Aku tidak tahan mendengar kata-katanya. Aku ingin bersama dengannya, tapi entah mengapa ada sesuatu yang mendorongku untuk tidak menerimanya lagi.
###

Sepanjang malam aku hanya berbaring di atas tempat tidur dan membenamkan wajahku ke dalam bantal. Aku terus mengingat-ingat pria itu. Bukan Jun, tetapi pria yang ada di kamar praktek kakakku. Tapi sepertinya pria itu kenal dekat dengan kak Priscil? Karena hanya orang-orang tertentu saja yang memanggilnya dengan sebutan “Silla”. Yaa...mungkin itu pacarnya? Gumamku.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu yang membuyarkan andai-andaiku. “Ren, kakak boleh masuk?” seru suara itu. “Ren” adalah panggilan masa kecilku yang diberikan oleh Kak Silla.

“ya.” Jawabku bermalasan-malasan. Kakaku yang paling tidak aku sukai mulai memasuki kamarku. Ia berjalan ke arahku dan duduk di sampingku. “Ren, kamu yang anter makan siang tadi ke tempat praktek kakak ya?”

“iya.” Aku hanya menjawab sekenannya tanpa menoleh padanya.

“mmm...terimakasih ya Ren. Ini ada sesuatu untuk kamu.” ia mengeluarkan sebungkus bingkisan dari belakang tangannya. Sebuah kotak kado berwarna pink bermotif love lengkap dengan pitanya yang juga berwarna pink. Aku berpikir ini tidak mungkin hadiah dari kak Silla. Kak Silla yang melihatku tanpa reaksi akhirnya menjelaskan asal-usul tentang hadiah itu. “ini dari seseorang untuk kamu Ren. Dia ingin memberika hadiah ini untuk kamu. Coba bukalah dulu.”

Perlahan aku mulai melepas pitanya dan membuka tutup kado tersebut. Aku sungguh dibuat terkejut oleh hadiah dari orang itu! Sebuah kotak musik dengan lapisan warna emas dan putih yang berukuran sedang, serta terdapat seorang wanita dan pria yang berdansa dengan anggun di atasnya. Lalu aku memutar katup kotak musik itu... dan... melantunlah lagu klasik yang begitu indah. Lagu ini... aku kenal lagu ini! Lagu klasik favoritku! Atau bisa dibilang satu-satunya lagu klasih yang aku tau dan aku suka saat pertama kali mendengarkannya yaitu Nocturne no.2 in E-Flat Major, op.9 no.2 oleh Frédéric Chopin versi dari Vladimir Ashkenazy.

Lantunan merdu denting piano yang keluar dari speaker kotak musik itu membawaku terhanyut ke dalamnya. Hatiku terasa tentram, seperti ada ketenangan di balik lagu ini. Lagu ini mampu membuatku tersenyum dan bersedih pada waktu yang bersamaan.

“hadiah itu pemberian seseorang. Dia berharap kamu menyimpannya Ren.” Kalimat yang diucapkan kak Silla membuatku tersadar. Aku masih tidak mengerti apa maksud orang itu memberikan hadiah ini untukku, tapi yang pasti aku tidak akan menolak kado indah ini.

“ya. Sampaikan terimakasihku kepadanya.” Hanya itu yang bisa aku katakan, untuk saat ini aku belum ingin tahu siapa yang memberikan bingkisan berharga ini.
###

Sesuai janjiku pada Gisel karna kemarin tidak bisa nonton dengannya, seusai jam kuliah kami pun pergi ke mall dan menonton film. Gisel mengajakku makan di American Grill tetapi sekarang aku sedang tidak selera makan makanan barat. Ketika kedua mataku menangkap keberadaan stand food yang menjual makanan Jepang sederahana kesukaanku Okonomiyaki, aku pun segera melesat ke sana dan membelinya.

“enak kan Gis? Makanya jangan makan makanan barat melulu! Coba makan makanan dari kebudayaan lain juga dong, apalagi Okonomiyaki dari Jepang ini.” Pamerku pada Gisel sambil terus melahap makanan itu dengan sumplit yang begitu tipis dan sedikit membuatku kerepotan.

“iya iya kali ini kamu menang Fi! Aku akuin ini enak banget.” Balas Gisel yang juga tidak berhenti memakan makan itu dan sesekali menyeruput Blue Iced-nya.

Tanpa kami sadari seseorang telah berdiri di hadapan kami. Ia terus menatapku dan tiba-tiba ia menaruh sekotak Okonomiyaki lainnya di atas mejaku. “ini, makanlah yang banyak. Okonomiyaki adalah hidupmu, bukan? Bahkan dulu saat kecil kau pernah merengek kepada kakakmu dan memarahinya karna ia tidak membelikanmu makanan itu.” lalu pria itu melangkah pergi dengan santai sambil memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana panjangnya.

Aku terbelalak dibuatnya. Bagaimana bisa orang asing seperti dia tau tentang masa kecilku?! Ketika aku terbangun dari lamunanku, aku langsung berlari mengejar ke arah pria itu tadi berjalan namun aku tidak menemukannya. Dia sepertinya sudah pergi.. tapi siapa dia? Ujarku dalam hati.

Gisel yang mengejarku mati-matian akhirnya mendapatkanku. “heh Fi cepet banget sih larinya! Aku hampir kehabisan nafas nyusul kamu, tau?!”

Siapa laki-laki tadi? Tapi sepertinya tidak asing...

Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Aku ingin penjelasan! Setelah mengantar Gisel kerumahnya aku segera membalikan stir mobil ke arah tempat praktek kakak ku bekerja. Aku merasa dia tau akan hal ini. Aku merasa dia punya andil atas keanehan yang terjadi padaku belakangan ini.

Dengan langkah berdebum aku menuju ke sana. Entah mengapa hatiku sekarang seperti air mendidih, aku takut emosiku meluap ketika mengetahui semuanya. Aku takut aku menyesal karena telah datang ke sini.

Akhirnya aku tiba di depan pintu kamar praktek kakak ku. Aku menyentuh gagang daun pintu itu dan bersiap mengayunkanya ke bawah, tapi niatku terhenti saat mendengar percakapan yang sedang teruntai dari dalam ruangan.

“aku sudah memberikan hadiah itu kepadanya. Ada lagi yang ingin kau sampaikan untuknya?” suara kak Silla begitu jelas terdengar. Apa hadiah yang dia maksud adalah kotak musik itu?!

“tidak perlu. I just met her, dan itu sangat menyenangkan. I saw her face was full of questions of who i am saat aku memberikan Okonomiyaki kepadanya and mengatakan kejadian masa kecilnya dulu about that food.” Ujar orang itu sambil terkekeh. Apa?!

“apa? Kau berani sekali! Why don’t you just tell the truth?” balas kak Prisicilla.

“i don’t have such courage to say.” Kali ini suara pria itu melemah dan terdengar putus asa.

“aku yakin adikku pasti akan menerimamu.” Aku tidak sabar lagi! Dengan perasaan yang kacau aku memasuki ruangan tersebut. Dan terpampanglah pemandangan yang tidak mengenakan kedua mataku. Kakaku sedang berpelukan dengan pria itu! Aku hanya berdiri mematung menyaksikannya. Air mataku bahkan tidak dapat keluar, tetapi di dalam, hatiku menjerit. Tenggorokanku tercekat sehingga tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku tidak tau mengapa kejadian yang ku liat ini begitu menyakitkan padahal aku tidak mengenal pria itu.

Aku melangkah pergi dari sana dengan keadaan tubuh yang agak limbung dan kepala yang berkunang-kunang. Kaki ku melemah, seluruh syarafku seperti terhenti yang alhasil membuatku jatuh pingsan.

seseorang sepertinya menggendongku? Aku bisa merasakan nafasnya yang tersengal-sengal, di dalam pelukannya aku merasa nyaman. Aku juga bisa mendengar denyut jantungnya yang berdetak cepat, ia nampaknya begitu khawatir dengan keadaanku. Aku ingin sekali melihat orang ini, tetapi mataku tidak dapat terbuka...
###

Aku tidak tau sudah pingsan selama berapa jam, tetapi yang pasti sekarang mataku seperti menempel dan aku kesulitan membuka kelopak mataku. Namun usahaku yang gigih membuahkan hasil yang manis. Ketika mataku sudah benar-benar terbuka, yang aku lihat hanya kak Prisicilla yang duduk di sisi kiri ranjang tempat aku terbaring dan seorang pria yang sedang terlelap di sisi satunya sambil... menggengam tanganku?!

“Fioren, kamu sudah sadar?!” kak Priscil tersentak melihat aku yang sudah siuman. Ia langsung mengecek keadaanku secara seksama menggunakan stetoskopnya. “kamu baik-baik saja bukan? Maafkan kakak Ren,” sambung kakakku itu. Karena reaksi kak Priscil yang cukup menghebohkan pria itu pun terbangun dari tidurnya.

Fioren, you’re awake? are you all right?” cara pria itu mencemaskanku terasa tidak aneh bagiku. Aku justru merasa bahagia akan kekhawatirannya. Tapi, siapa dia?

“siapa kau?” aku tidak yakin suaraku akan terdengar jelas karena kerongkonganku sedikit sakit ketika bersuara.

“Fioren, dia Daniel... dia teman kakak saat di panti asuhan dulu.” Sela kak Priscill. Dia nampak pucat saat mengucapakan kata-kata itu.

“panti asuhan? Apa maksudmu?!” aku sengaja menaikan intonasi pembicaraan. Jadi selama ini Priscilla adalah kakak angkatku?

“mama dan papa berencana untuk tidak pernah mengatakan hal ini kepadamu, tetapi aku tidak bisa menyimpan rahasia akan siapa diriku selamanya karena kelak kau pasti menyadarinya.” Wanita yang kukenal sebagai kakak kandungku menghentikan kalimatnya sejenak, ia menghela nafas dan melanjutkannya. “saat dulu kau masih kecil sekitar umur 7 tahun kau dan orangtuamu datang ke panti asuhan untuk menjemput aku, tetapi kau begitu marah dan tidak setuju, kau berlari sampai ke tengah jalan dan sebuah mobil hampir menabrakmu, syukurlah itu tak terjadi. Dia... Daniel teman sebayaku yang menyelamatkanmu. Kau pingsan dan Daniel menggendongmu dengan tergopoh-gopoh, tapi Daniel tidak menyerah. Namun ketika kau sadar, kau menangis sangat keras begitu melihat Daniel. Sejak saat itu Daniel terpukul atas sikapmu. Ia me...”

let me tell the rest Silla. Aku menyukaimu Fioren, karena terlalu menyukaimu akhirnya aku memutuskan pergi dari kehidupanmu. Kebetulan aku juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Amerika dan aku mengambil kesempatan itu sekaligus untuk melupakanmu. Selama 11 tahun aku tinggal di sana tetapi tidak kunjung menemukan pengganti dirimu, setiap malam aku selalu terbayang wajahmu yang ketakutan saat melihatku... aku sangat merindukanmu dan ingin bertemu tapi aku tidak mau membuatmu menangis...” Daniel menghentikan ceritanya. Ia tertunduk lurus menghadap lantai rumah sakit. Aku bisa mendengar suaranya yang serak seakan tak sanggup melanjutkan cerita masa lampaunya yang memilukan.

Tubuhku bergerak dengan sendirinya. Perlahan langkah kakiku menghampiri pria yang di sapa Daniel itu. Aku tidak lagi menangis ketika melihatnya, tetapi justru aku sangat bahagia. Aku tidak tau apa yang dulu telah terjadi sehingga aku bersikap begitu kejam terhadapnya. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak bisa mengingatnya. Tapi kini semua sudah jelas. Inikah sebabnya mengapa aku sangat ingin bertemu dengannya sejak pertama kali bertemu dia? Maafkan aku Daniel...

Aku menyentuh pundak laki-laki itu dan berkata. “maafkan aku Daniel... aku janji tidak akan menangis lagi karena melihatmu, justru sekarang aku sangat bahagia...”

Daniel menengadahkan kepalanya dan menatapku tak percaya. Ia berdiri dan mendekapku ke dalam pelukannya. “thank you Fioren.”
###

Keesokan harinya mama dan papa menjelaskan bahwa dulu aku sempat menderita amnesia anterograde dan retrograde secara bersamaan. Aku tidak mampu mengingat kejadian sebelum hampir tertabrak mobil dan tidak dapat mengingat kejadian setelahnya karena trauma parah. Aku tercengang mendengarnya. Karena itu kah aku sampai melukai perasaan Daniel?

Di tengah-tengah keheningan kamarku yang hanya dihiasi oleh lantunan musik klasik pemberian dari Daniel handphone-ku berdering dengan nyaringnya. Aku melirik layar hape itu dan melihat sebuah nomer yang tidak ku kenali.

Aku menempelkan benda kecil itu ke telinga. “siapa ini?”

“ini aku Jun, Fioren.. tolong jangan matikan telfonnya.” Pinta suara itu dari sebrang dengan nada lemah lembut.

“ada apa lagi?” jawabku sekenannya.

“aku ingin bertemu denganmu. Besok aku jemput sehabis jam kuliah.” Kemudian sambungan telfon itu terputus begitu saja. Dasar seenaknya! Kau pikir siapa dirimu?!

Pria menyebalkan! Gerutuku dalam hati.

Besok hari setelah jam kuliah berakhir aku bergegas meninggalkan ruangan supaya tidak bertemu Jun. Namun harapanku tampaknya tidak terkabul. Ia sudah menungguku di depan pintu dengan beberapa wanita yang kelihatan sedang mengaguminya. Dasar wanita-wanita bodoh!

“aku cuma ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya Fioren. Jadi aku mohon kau jangan kabur seperti waktu itu.” ucapnya kemudian menarik pergelangan tanganku dan memasuki mobil.

“kita mau pergi kemana? Aku ada janji dengan seseorang jadi jangan lama-lama.” Ujarku ketus tanpa memandangnya.

“tidak lama, aku juga ada janji dengan seseorang kok.” Balasnya

Beberapa saat kemudian tibalah kami di sebuah... Bandara?! Aku tidak tau apa yang sedang direncanakan oleh Jun. Tetapi aku rasa ini akan sangat mengejutkan.

Tiba-tiba Jun menunjuk ke suatu arah sambil berkata. “ah itu dia! Ayo Fioren!” ia kembali menarik tanganku dengan cukup keras dan membuatku sedikit tidak nyaman namun aku tak dapat mengelaknya. Kami berjalan mendekati seseorang yang sedang berdiri tegap menghadap ke arah luar jendela transparan yang besar.

“hai Daniel!” sahut Jun dengan semangatnya. Apa yang dia katakan barusan?! Daniel?! Pria yang di panggil Jun sebagai ‘Daniel’ itu pun membelokan badannya dan perlahan berhadapan dengan aku dan Jun. Ini benar-benar suatu surprise yang tak terduga! Aku tak dapat bergerak dan mematung di samping Jun. Bagaimana mungkin?! Apa dunia sesempit ini?! Jun mengenal Daniel?!

“Fioren... k- kau? Kau kenal dengan Jun?” Daniel mengucapkan kalimatnya dengan sedikit terbata-bata. Aku rasa dia juga sama shocknya seperti aku.

Jun tertawa terbahak-bahak melihat kekikukkan yang menimpa kami. Ia tertawa dengan lepasnya dan membuatku jengkel seolah ia meledekku! “kenapa kau tertawa?!” bentakku padanya yang seketika menghentikan tawanya.

Jun meraih tangan kananku dan ia juga meraih tangan kiri Daniel. Ia meletakkan tangan Daniel di atas punggung tanganku dan menyatukannya. “tetaplah bersama sampai maut memisahkan kalian. Sudah waktunya aku untuk kembali ke Amerika. Daniel, jaga Fioren dengan baik! Itu perintahku. Selamat tinggal semuanya.” Jun, pria itu menyunggingkan seulas senyum manis sesaat sebelum meninggalkan kami berdua. Aku tidak percaya bahwa ini sungguh pertemuan terakhir antara aku dan dia.

Aku berlari mengejarnya dan memeluknya dari belakang. Ia menghentikan langkahnya dan membalas pelukanku. “terimakasih untuk semuanya Fioren. Aku senang bisa mengenalmu.” Jun memegang pundakku dan mengendurkan dekapannya. Ia terus berjalan sampai aku tak dapat lagi melihatnya.

Aku rasa baru saja beberapa tetes air mata berjatuhan membasahi pipiku. Aku menghapusnya tetapi semakin banyak linangan air mata yang keluar. Lalu aku merasakan seseorang mengegam erat bahuku. Ia membelai rambutku dan menciumnya dengan lembut. “don’t cry, i’ll always be by your side
###

2 tahun kemudian...

Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi keluargaku, terutama kakak angkatku yang sudah kuanggap seperti saudara kandung sendiri yaitu Kak Priscilla. Ia merayakan pesta pernikahannya dengan pasangan yang juga seorang dokter keturunan barat bernama Fritz, sedangkan aku menjadi pengiring pengantin untuk kakakku.

Aku berharap suatu hari nanti aku dapat menyusul kakakku bersama Daniel. Tetapi aku rasa aku harus menundanya karena Daniel sekarang sedang melanjutkan study S2-nya di Amerika. Ia berjanji setelah semua urusannya selesai kami akan segera menikah dan aku menunggu akan hal itu. Seharusnya sejak 1 minggu yang lalu dia sudah kembali ke Indonesia, namun tidak ada kabar darinya. Aku sedikit kecewa dan cemas akan sikapnya belakangan ini. Aku takut ia memiliki wanita lain di sana dan membatalkan rencananya denganku.

“hei, Fioren! Kenapa tidak ikut dengan yang lainnya untuk memperebutkan buket bunga pernikahan kakak!? Siapa tau kau yang mendapatkannya dan bisa segera menyusulku.” Ucapan kak Silla yang cukup kencang membuatku malu. Aku sebenarnya tidak ingin ikut berpartisipasi dalam hal ini, tapi yasudahlah...

Saat kak Silla menghitung dari 1 sampai 3 ia langsung melemparkan buket bunga itu ke belakang tepat ke arah para undangan yang hadir dan berebutan untuk mendapatkannya.
“will you marry me Fioren?” perkataan seseorang itu membuatku yang sedang meneguk segelas sirup stroberri tersentak.

Aku menoleh ke arah suara itu. Aku melihatnya! Daniel datang! Ia dengan buket bunga yang dilempar tadi oleh kakakku! Ia berlutut dengan satu kaki dan mempersembahkan buket bunga itu. Tanpa ragu aku meraihnya dan berkata. “yes, of course!” aku melompat kegirangan lalu memeluk Daniel. Ia memberikan kejutan yang membuatku tak bisa berkata-kata sedikitpun.

Dalam pelukan Daniel, dari kejauhan aku melihat sebuah mobil sedan hitam di depan gerbang rumah. Pria itu memakai kacamata hitam, ia tampak sedang memperhatikan kearah ku, sadar jika aku mengetahui keberadaannya ia lalu melajukan mobilnya dan pergi dari sana.

Aku dan Daniel berdansa dengan diiringi musik klasik favoritku. Kami berdansa dengan anggun layaknya patung pria dan wanita di kotak musik pemberian Daniel.

Jun, aku sangat bahagia...

Aku harap kau juga merasakan kebahagian seperti aku...

DE END

Cerpen: PESAN TERAKHIR

PESAN TERAKHIR
Cerpen Pesan Terakhir

oleh: Mega Silfia
Atap yang begitu putih, membuat ku teringat dengan dia, bagaimana aku bisa bertemu dengan dia yang sudah tiada. Rasanya aku tidak bisa bernafas, setiap ku mengingat kebersamaan dengannya.

“nanda, nanda kamu sudah sadar.” ucap ibu tiri ku dengan wajah panik dan bergegas mencari dokter di rumah sakit nanda di rawat.

“nanda, kalo kamu dengar ucapan saya coba anggukan kepala kamu.” sambil melepaskan alat penafasan.

Akupun menganggukan kepala, melihat kaki yang dibalut oleh perban, tak sengaja aku mencuri pembicaraan antara dokter dan ibu tiriku, yang ku dengar kaki kananku patah akan sembuh total selama enam bulan lagi dan menyuruh ku di bawa ke psikolog.

“nah, nanda kamu jangan banyak bergerak dan tidur saja.”

Tanpa mendengar perintah dokterpun aku akan tidur dan melupakan semuanya, ketika aku dan dia bertemu. Saat itu sore yang sedikit cerah memungkinkan ku untuk kabur dari rumah, dengan menggunakan tas ransel besar dan jaket tebal lalu kupluk untuk menutupi kepaku. Ayah ku menikah lagi dengan wanita yang sama-sama di tinggal oleh pasangannya. Ibuku meninggal saat melahirkanku, melihat sosok ibu aku tidak tau, aku kabur dari rumah karna aku tidak butuh ibu, mungkin aku cemburu. Apalagi wanita itu mempunyai anak laki-laki berumur 7 tahun. Membuat ayahku semakin senang. Sepucuk surat ku letakan di kamar yang berisi “aku pergi dan jangan menghawatirkan ku lagi, semoga kalian bahagia, NANDA.”

Saat itu aku ingin semua itu berhasil dan sesuai rencana ku , mereka akan khawatir dan mencariku, entah mengapa pikiran ku saat itu kekanak-kanakan. Aku hanya ingin mereka melihatku. Semua berubah saat aku berhenti di sebuah rel kereta api. Di situ aku berfikir, aku akan kabur kemana? Dan bila tersesat bagaimana?. Jujur aku tidak mempunyai teman di sekolah, ini karna sifat pendiamku. Aku tidak pintar beriteraksi dengan orang lain. Yang ku bisa saat itu hanya duduk dan duduk di kursi tunggu kereta api. Entah mengapa aku mulai merasa curiga saat ada seorang anak laki-laki duduk di sebelahku dengan memakai topi dan tas ransel dia duduk dan melihati ku. Sedikit melirik, aku melihat dia, anak laki-laki yang ku rasa seumur dengan ku. Ku rasa dia bukan orang jahat, itu terlihat dari style dan jam tangan yang dia kenakan , bermerek mahal. Di kursi itu dia mulai mengeluarkan suaranya.

“kamu kabur dari rumah juga ??” Tanya dia sambil tersenyum

“bukan urusan kamu.” Ku jawab dengan nada datar dan dingin.

“oh !”

Tiba-tiba saja dia berdiri dan menarik tanganku, aku yang saat itu duduk terkejut dan berdiri, wajahnya tepat di depan wajahku. Mata yang coklat, wajah yang putih, bibir yang merah dan dari tubuhnya tercium bau yang hangat. Membuatku tidak dapat bergerak, namun aku mengelak. Dengan ransel yang ku pegang aku pergi meninggalkan dia. Di stasiun dia terus mengikuti ku, walau sudah ku peringatkan di tetap tersenyum dan mengikuti ku , akhirnya aku menyerah dan berhenti.

“kenapa sih kamu ngikutin mulu? mau kamu apa sih?” Tanya ku

“kabur bareng.” jawabnya sambil tersenyum ringan.

Dengan suara kereta yang sangat bising, suaranya sedikit tersamar namun masih terdengar oleh telingaku, aku hanya terdiam dan berfikir, aku dan dia sama-sama kabur, dan apakah aku mempunyai tujuan untuk kabur, mungkin diapun sama, tidak punya tujuan. Aku menyerah dan kita kabur bersama. Dan aku bertanya siapa namanya.

“nama kamu siapa.”

“aku andre.”

“aku nanda.”

***
Selama perjalanan dia tidak berhenti mengoceh, namun tak kudengar, hanya sedikit ku dengar, seperti dia takut dengan monyet, dia mengaku dia pernah di culik oleh monyet karna dia merebut pisang dari monyet tersebut, aku tidak percaya saat itu, karna yang kupikirkan dia pasti inggin melihat ku tertawa, namun aku tidak bisa karna ku tak terbiasa.

“kita bakalan nginep dimana?”

“aku tau tempat bagus untuk nginep.” jawab dia sambil memegang tanganku.

Sempat ku berfikir dia akan membawaku kesebuah tempat penginapan, namun dia membawaku kesebuah taman dan berkata “disana ada kursi kamu tidur di situ aja, aku di atas rumput di selimuti oleh bintang.”

“…….” Aku hanya bisa terdiam, dan mengikuti keinginannya.

Pagi harinya dia bangun dengan bugar. Betapa beratnya bila kita kabur namun tak ada tujuan. Akupun terbangun dari kursi dan tak sengaja menginjak kakinya yang sedang santai sambil menghembuskan nafas.

“aw, kenapa sih?”

“kalo kaburnya kayak gini, mending aku kabur sendiri.”

“15 kilo meter lagi kita sampai di tempat tujuan kok.”

Di perjalanan dia menceritakan tempat tujuannya untuk kabur, yaitu sebuah rumah yang sudah lama tidak di tempati, itu adalah rumahnya namun sudah kosong. Dan akhirnya sampai di tempat tujuan. Rumah yang lumayan besar. Ada sebuah jendela besar di balik rumah tersebut dan kitapun masuk. Entah mengapa saat masuk aku melihat rumah itu seperti bukan rumah yang di tinggalkan oleh penghuninya, sangat bersih. Dia mulai duduk dan melemparkan tasnya lalu membuka topinya. Karna sinar matahari dari kaca, wajahnya terlihat sangat jelas saat itu. Di rumah itu dia melakukan aktifitas sesuai keinginannya, minum, membuat makanan, anehnya dari kulkas ada banyak perlengkapan makanan yang belum basi. Di sebuah meja makan aku bertanya kepadanya.

“rumah ini kaya bukan rumah tanpa penghuni.”

“yah emang, ada penjaga, yaitu setan berambut bule.”

Entah mengapa aku tersenyum saat itu, tapi aku serius ingin tau, akhirnya dia menjawabnya, memang ada penjaga khusus untuk merawat rumah ini, dan dia menyuruh untuk berhenti sementara membersihkan tempat tersebut.

***
Hari-hari ku lewati dengannya, aku lupa bahwa aku punya keluarga dan aku merasa nyaman saat dengannya, sedikit demi sedikit aku bisa terseyum karna banyolannya. Hingga di suatu malam aku memberanikan untuk menanyakan identitasnya. Ternyata dia masih sekolah. Dan satu yang membuatku penasaran. Kenapa dia kabur.

“trus kenapa kamu kabur,kalo aku sih karna ibu tiri ku.” tanyaku sambil melihat bintang.

“karna ingin melihat bintang, matahari, dan semua yang kadang-kadang ku lihat.”

Saat aku mendengarnya entah mengapa dia seperti burung dalam sangkar. Dari matanya aku melihat sebuah penantian.

“jawabanya gak etis.”sambil tersenyum dan menatap wajahnya

“kenapa, apa keluargamu kacau, apa kau tak suka dengan ibu tirimu, apa karma kamu di perlakukan kaya upik abu?”

“gak , hanya aku merasa tak bisa dekat dengan orang yang baru ku kenal.”

“lalu, kenapa dengan ku kamu langsung dekat, cobalah tersenyum untuk seseorang yang sebenarnya kamu saying.”

Dan malam itu mulai membuatku ingin menutupkan mata namun saat mulai sedikit menutupkan mata dia mengucapkan sesuatu

“aku akan pergi jauh.”

Namun aku sudah tertidur dan tidak ku hiraukan. Hingga suatu hari saat itu hujan sangat deras, ku melihat dia memandangi jendela, sambil meminum secangkir teh hangat dengan sweeter yang tebal tercium bau yang hangat di campur bau hujan. Dia pun melihatku yang turun dari tangga dan memberikan sebuah senyuman kepadaku dan aku bisa membalas senyumannya. Namun saat langkahku hampir berada dekat dengannya tiba-tiba saja dia memegang dadanya, dan menjatuhkan cangkir teh, aku pikir dia melakukan sebuah lelucon lagi, namun tidak. Dia mengeluarkan mata dan mengaung kesakitan. Aku yang panik tidak tau harus berbuat apa, saat itu aku mencari telepon genggamnya dan di daftar telepon tertulis jelas HOME. Akupun mulai menelepon dan di angkat oleh ibunya. Suaranya semakin keras, dia mengeluh kesakitan. Karna panik aku menelepon ayahku. Saat itu aku sangat ketakutan, ambulan mulai datang dan membawa andre ke rumah sakit, di dalam ambulan aku melihat ibunya menangis sambil memegang tanganya. Ayahnya terus menerus menenangkan sang ibu, telepon dari ayah berdering, dan aku mengirimkan sebuah pesan singkat bahwa aku akan pergi kerumah sakit. Aku hanya bisa melihatnya dan tidak ingin menangis seolah-olah dia akan pergi selamanya. Sesampainya di rumah sakit, dokter dan suster mulai sibuk membawa andre ke ruang UGD, dengan jaket tipis dan basah aku hanya diam di luar rumah sakit hingga dari kejauhan aku melihat ibu tiriku mengahampiri dan memelukku. Dengan badan yang lemas aku berfikir kenapa bukan ayah yang datang.

***
Perasaan takut kehilangan dirinya mulai datang dalam hati ku, ketika aku datang untuk menjengungnya dan aku mulai memberanikan diri untuk bertanya kepada ibunya , ada apa sebenarnya dengan andre. Dia pergi dari rumah dan meminta izin untuk mengahabiskan waktunya, beda dari perkataanya, dia bilang dia juga kabur dari rumah. Dan hal yang sangat membuatku syok, dia sakit parah yaitu kanker hati dan hidupnya memang tidak lama lagi. Itu bohongkan. Aku tidak menginginkan kenyataan ini, namun itu memang nyata. Dan dia dalam keadaan koma saat ini. Sehabis pulang sekolah aku berniat untuk kembali melihat kondisinya, di lorong rumah sakit, dari kejauhan terlihat ibu andre menangis keras sekali. Ayahnya hanya memeluk dan menahan tangisannya si balik kaca matanya. Dan mereka masuk ke tempat andre di rawat. Perasaanku tidak enak, aku berlari menuju mereka, dan menerima kenyataan. Andre sudah tiada. Apa artinya ini. Kenapa saatku merasakan kehadiran seorang yang berarti dia pergi dengan cepat. Pikiranku melayang. Yang ku pikirkan, bagamana cara ku menemuinya lagi. Dan aku melangkah sedikit demi sedikit sampai terhenti di depan tangga menuju atap rumah sakit. Langkah ku menuju tangga tak terhenti hingga sampai menuju atap. Langit saat itu cerah. Angin yang kencan mengibaskan pipiku. Seolah-olah mengusap air mataku.

“dimana andre, apa andre ada di langit, di surga, aku ingin menemuinya.”ucapku saat pikiranku melayang.

Aku pun berdiri di ujung atap. Betapa tingginya keberadaanku sekarang. Rasanya aku ingin loncat dan berada di tempat yang lebih tinggi. Tempat andre berada. Dan akupun lompat. Saat tersadar aku merasa mati rasa. Kaki dan tanganku di perban.

***
Pagi itu ayah dan ibu tiriku terus saja mengatakan bahwa aku akan sembuh. Lalu meminta maaf. Aku hanya bisa diam. Karna sebenarnya aku pun merasa bersalah. Aku merasa sudah melukai perasaan mereka. Pikiranku berkata maaf. Namun mulutku sulit mengucapkannya. Sedikit keberanian dan suara yang belum ku keluarkan. Aku berkata “maaf” dan respon mereka sangat luar biasa. Hari-hari ku sudah mulai membaik. Aku mencoba tersenyum untuk mengobati perasaan kehilangan ku. Pintu terbuka dan ada seorang wanita masuk dari balik pintu itu, dia ibu andre. Langkahnya mulai menghampiriku yang terbaring lemah. Dia menannyakan keadaanku. Dan bagaimana pertemuanku dengan andre, anaknya? Semua ku jawab. Dan dia menceritakan semua tentang andre. Andre yang tegar. Andre yang kuat. Dan andre yang sangat menyayangi keluarganya. Andre adalah kebalikan denganku. Dan ibu andre memberikan ku sebuah surat. Surat dari andre sebelum dia pergi untuk selamanya. Ibu andre pergi saat menyerahkan surat ini.

“dear nanda, mungkin bila kamu membaca surat ini aku sudah tiada. Tuhan sudah memberikan ku banyak kebahagiaan dan kebahagiaan trakhir untuk hidupku adalah bertemu dengan mu, ini adalah salam trakhirku. Jadilah nanda yang tegar, nanda yang selalu tersenyum kepada semua orang. Karma nanda lebih cantik tersenyum dari pada menangis. Saat kau membaca surat ini pasti kau menangis. Maaf sudah membuatmu menangis. Tapi berjanjilah, ini adalah tangisan trakhir nanda. Pesan terakhir andre prawijaya muftian.”

Aku menangis saat membaca surat itu. Aku akan menjadi nanda yang tegar. Nanda yang selalu tersenyum. Dan nanda yang tak akan mengangis lagi saat membaca surat ini. Ini janjiku.


THE END

Cerpen Cinta: GOODBYE MY BOYFRIEND 50%

GOODBYE MY BOYFRIEND 50%
Cerpen Perpisahan
By: Leriani Buton

Ketika senja menutup mata
Aku berharap malam menyapaku dengan senyuman
Namun,,, malampun hadir dengan wajah yang gundah…
Entah mengapa semuanya terasa sulit untuk dihadapi
Mungkinkah inilah jalan takdir yang telah tersurat untukku
Atau mungkin ini adalah cobaan dari-NYA?

RAPUH….

Ya seperti itulah aku di waktu kemarin. Entah mengapa aku begitu rapuh….???? Akupun tak tahu jawabannya. Hanya bisa menerima keadaan seperti ini tanpa berkata apapun. Kalaupun harus berkata, aku mesti berkata pada siapa? Rasanya aku ingin teriak sekeras – kerasnya. Tapi, aku tahu itu semua tak ada gunanya.

Semuanya telah berubah setelah kepindahanku disini, di makassar. Peristiwa yang pernah terjadi di beberapa bulan kemarin telah ku kubur dalam-dalam. Aku berharap semoga semuanya dapat berakhir dengan kebahagiaan.

Waktu semakin berlalu. Aku ingin mencoba memulai hidup yang lebih baik. Memori yang indah sekaligus terasa pahit beberapa bulan kemarin telah dikikis habis oleh waktu. Setelah beberapa bulan berada disini, semuanya terasa lebih baik. Arlen yang sempat hadir mengisi ruang hatiku, kini tak ada lagi tempat yang layak baginya di hatiku. Bahkan di sudut hatiku yang paling tekecil pun sudah tidak ada. Aku benar- benar telah melupakannya.

Semua aktivitas kuliahku berjalan dengan baik. Meskipun ada beberapa yang membuat pusing, tapi Alhamdulillah bisa teratasi. Banyak teman-teman baru yang hadir dalam mengisi hari-hariku. Kesibukanku membuatku semakin bersemangat. Pokoknya tak ada waktu kosong disetiap hari-hariku untuk mengingat arlen kembali.

Hingga sampai disuatu malam. Ketika itu aku sedang asyik menyelesaikan tugas-tugas kampus. Tiba –tiba terdengar nada yang tak asing lagi bagiku. Hm… nada itu adalah nada SMS dari Hpku. Dengan santai akupun membuka SMS itu. “Nomor baru” itulah kata pertama yang keluar dari bibirku. Karena penasaran akupun membalas SMS itu dengan menanyakan siapa dia sebenarnya. Kamu tahu apa jawaban dari SMS ku, ternyata dia adalah Arlen. Hah… sangat menyebalkan. Kenapa dia mesti mengirim SMS padaku lagi…???? Apa mungkin dia sudah lupa dengan apa yang dilakukannya padaku di beberapa bulan kemarin….???? Benar – benar ingin membuatku tertawa marah, benar–benar tak bisa terfikirkan olehku. Bagaimana bisa dia berani mengSMS ku dengan kata – kata basi seperti itu. Apa dia sudah lupa, untuk sekarang ini aku bukan wanita bodoh seperti apa yang dipikirkannya dulu…???? Aku seorang vian, tidak akan tergugah dengan kata-kata seperti itu lagi. Akupun tak membalas SMSnya lagi setelah aku tahu ternyata dia adalah arlen. Sebenarnya, bukan maksudku untuk ingin membalas dendam padanya, tapi aku hanya ingin melupakannya dengan caraku sendiri. Sudah cukup, kesedihan yang ku alami. Aku sudah tak percaya lagi padanya. Dan aku rasa tak ada yang perlu di maafkan, semuanya telah berakhir. Ya…. Berakhir.

Malam itu terasa menyebalkan. Kenapa aku mesti mandapatkan banyak nomor ponsel yang tak jelas. Sebenarnya sich aku tak memikirkannya. Tapi… aku takut nomor ponsel itu adalah nomor ponsel milik teman-temanku. Aku takut dibilang sombong oleh mereka setelah kepindahanku disini. Hah…. Ini semua disebabkan oleh rusaknya Hp pertamaku. Andai saja dia tidak rusak. Pasti semua ga’ bakalan seperti ini. Akhirnya mau tidak mau aku ladenin dech nomor-nomor itu.

Ada satu nomor, yang membuatku benar-benar naik darah. Aku nanyain baik- baik siapa dia, eh malah dia tidak mau beritahu jati dirinya. Menyebalkan tidak….???? Dan sampai sekarang pun dia masih tetep meghubungi ku tanpa identitas yang jelas. Hah… akupun tak memperdulikannya. Lagian siapapun yang mengenalku, entah secara langsung ataupaun tidak langsung. Bagiku mereka semua adalah sahabatku. So, semuanya bisa berjalan dengan baik.

Waktu pun semakin berlalu. Ada seseorang yang membuatku tertawa lepas kayak seperti dulu lagi. Meskipun saat ini aku masih menggantung cintanya, namun dia mau menunggu sampai akhirnya aku bisa menyayanginya. Meskipun pada kenyataanya, dia itu 3 tahun lebih muda dariku. Tapi,,, dia mampu mencintaiku apa adanya dan yang pastinya dia selalu membuatku tersenyum. Sampai sekarang pun… setiapa kali aku lagi boring sama tugas-tugasku, dia masih tetap menemaniku dengan suaranya yang lembut melalui komunikasi. Benar-benar menyenangkan. Terimakasih ya Allah… karena telah memberikan aku kebahagiaan melalui sosok dirinya.

Hm…. Semuanya masih tetap baik-baik saja. Dia masih tetap mengatakan cinta padaku dan masih tetap meyakinkanku bahwa dia akan tetap bertahan sampai akhir. Namun, waktulah yang akan menjawab semuanya. Aku sangat menyayanginya, meskipun pada kenyataannya kami belum berpacaran. Dia begitu berbeda dengan mantanku sebelumya. Memang aku masih menggantung cintanya. Aku hanya takut merasakan kekecawan yang sama seperti yang dilakukan arlen padaku. Aku percaya dia tak akan menyakitiku.

Entah apa yang terjadi, dia berubah tanpa ku tahu alasannya. Dia selalu diam ketika ku ajak bicara, tak pernah mengangkat telponku dan bahkan tak pernah memblas SMS-ke. Dan kini sekarang waktu telah menjawab semuanya. Dia tidak bisa menepati janjinya. Dia ingin hubungan kami berakhir. Aku sich fine ja, karena aku ngerasa aku tidak pacaran sama dia. Memang benar aku menganggapnya sebagai pacar 50%-ku. Dan akan mencapai 100% setelah aku udah menyandang gelar sarjana. Aku sadar 4 tahun itu adalah waktu yang lama. Sebenarnya aku hanya ingin meminta pembuktian dari dia, apakah dia bisa menepati janjinya atau tidak? Ternyata tidak.

Sebenarnya aku bingung, setelah dia mengatakan putus, malah dia bilang kalau itu semuanya hanyalah bercanda. Aku tak percaya, karena aku ngerasa dia mengatakannya dengan hatinya sendiri. Hah… sudahlah. Aku tak boleh terlalu larut dengan semua ini. Karena masih banyak hal yang mesti aku fikirkan selain masalah ini. Bukannya aku tak peduli, tapi apakah aku harus menangis dengan berakhirnya hubungan ini? Ataukah aku mesti memohon padanya untuk tidak mengakhiri hubungan kami? Itu semua tak akan ku lakukan. Aku mempunyai komitmen yang besar. Yang tentunya tidak boleh membuat aku lemah dan manja di depan laki-laki seperti dia.

Aku juga memahaminya. Mungkin dia tak sanggup menungguku selama itu. Tapi aku malah lebih kecewa karena ternyata dia mengingkari janji yang telah dia ucapkan padaku. Kalaupun pada akhirnya menjadi seperti ini, aku sudah mengikhlaskan semuanya. Aku juga mengerti setiap ada pertemuan pasti bakalan ada perpisahan. Biarlah dia menikmati masa remajanya dengan bahagia. Dan aku, aku juga akan menikamati aktivitas yang aku jalani saat ini. So, semuanya akan membaik. Aku harus bisa,,,,! Ada keluarga besarku di dunia ini yang membutuhkanku. Sebisa mungkin aku akan berjuang, agar kelak aku bisa membantu mereka keluar dari keterpurukan yang mereka alami saat ini. Tak ada yang membedakan mereka. Di mataku, mereka semua adalah keluarga besarku.

Good bye my boy friend 50 %. I hope you always happy.

Harapan Cintaku

Ketika mentari menyinari dunia...
Ku berharap ada secercah harapan cintaku tersinari juga
Namun ternyata sinar itu tak kunjung datang
Masa demi masa telah terurai….
Aku masih tetap seperti ini
Menjalani hidup yang ada di depan mata
Ketika mataku mulai meredup….
Hatiku tak berharap lagi…
Mentari itu malah datang memberikan sinarnya
Aku pun dengan tangan terbuka dan
Senyum yang bahagia menyambut kehadirannya
Harapan cinta itupun mulai ada….
Namun,,, disaat aku mulai berharap
Dia malah pergi meninggalkanku….
Kenapa mesti seperti ini?
Aku sangat menyayanginya…
Kini aku sadari,,,
Dia hanyalah bayangan sinar mentari
Yang tak sengaja singgah di hatiku
Dia hanya ingin menghancurkanku dengan serpihan cahayanya
Dia hanya ingin membuat hatiku meleleh dengan panasnya.
Aku tak menyesal bertemu dengannya
Yang aku sesali adalah dia telah membohongi dirinya sendiri
Dengan mengubar janji
Selamat tinggal mentariku……
Bawalah harapan cintaku dengan tenggelamya sinarmu dikala senja...

Mencintaimu Cukup Bagiku

Gabriel: Mencintaimu Cukup Bagiku
Cerpen Romantis Sedih
oleh Nurul A. Erviningrum
Biarkan aku menatap lirih
Setiap keping kenanganku yang telah retak
Biarkan aku tetap mendengar
Bisu kata dari semua yang pernah terucap
Izinkan aku kembali melangkah
Sebelum lembar masa lalu berhasil menjamah
Akanku hirup udara yang menyesakkan
Walau nyata, tak dapat ku genggam angin
Sempatkan aku untuk tertunduk
Menyentuh kembali sakit yang terindah

“Gabriel.. ayo!!.”

Waktunya tiba, perempuan paruh baya itu sudah memanggilku. Aku tak punya alasan lagi untuk berkata ‘tidak’.

Kupandangi pintu lobi itu, entah untuk yang keberapa kali. Disana ada seorang penjaga, masih dengan kesibukan yang sama.

Perempuan paruh baya yang memanggilku tadi – yang tak lain adalah ibuku- ia mengecek barang-barang. Ia menenteng satu koper besar, bersiap menggeretnya.

“iel, kamu bawa yang ini!!.” Perintahnya. Ia menyisakan sebuah tas besar penuh isi. Aku tak tahu apa isinya. Bukankah sejak awal aku tak tahu barang apa saja yang kami bawa. Mm.. bukan kami, dia tepatnya. Ibuku. Aku tak sedikitpun andil dalam mengemasi barang-barang, karena sejak awal pula, aku enggan pergi. Aku meraih tas besar yang dimaksud sebelum ibuku berteriak lagi. Suara yang berusaha keras untuk kuabaikan.
Sudah kubilang padanya tak perlu membawa barang banyak-banyak. Tapi tetap saja, ia yang menang, apalagi alasan yang sungguh masuk akal. Kami akan pergi dan takkan kembali. Jadi wajar bukan jika membawa seluruh barang yang ada. Bagiku tetap saja berlebihan.

“jangan sampai ada yang tertinggal!! Itu, koper kecil itu dibawa sekalian yel!. Isinya surat-surat sekolah kamu.” Ujarnya lagi.

“ayoo!.” Ia sudah melangkah lebih dulu.

Sekali lagi, aku menatap pintu lobi, berharap disana ada seorang gadis berdebat dengan petugas penjaga karena memaksa masuk seperti di film-film.

Tapi mataku tak melihat apa-apa. Aku bahkan bisa menyebut tak melihat siapapun. Karna tak ada yang ingin kulihat saat ini kecuali gadis itu.

“Gabriel….” Erang ibuku. Ia sudah berjarak 7 meter dariku. Aku bisa melihatnya kesal. Bisa saja ia kembali kesini dan menjewer salah satu telingaku agar aku ikut berjalan dengannya. Tapi ia tak mungkin melakukan itu, umurku 18 tahun. Apalagi kami sedang di bandara. Dan satu lagi kenapa ia tidak akan meluapkan kekesalannya dalam bentuk lain, karna toh aku sudah mau ikut pergi. Pergi meninggalkan kota ini. Negara ini dan gadis itu. Gadis yang bukan gadisku.

Aku mengecek sekitaran tempat duduk. Sebenarnya aku juga tidak begitu peduli kalaupun ada yang tertinggal. Aku hanya sedang tidak ingin menambah situasi menjadi rumit.

“gabriel, ayo! Nanti kita ketinggalan pesawat.” Ocehnya lagi.

Aku menatapnya pasrah. Tak tega juga terus-terusan membuatnya mengomel begitu.

Okkey,, aku pergi. Selamat bu, karena sekarang aku berada penuh dalam kendalimu.

Aku melangkahkan kaki menuju dimana ibuku berdiri namun belum sempat aku sampai padanya, ia sudah berjalan lagi. Sepertinya ia tak tahan lagi menunggu langkahku. Yang penting dalam penglihatannya aku sudah mau berjalan. Langkahku terasa berat. Ada rantai dengan bola besi yang mengikat kakiku. Dan benda-benda itu tak kasat mata.

Melihat reaksinya, aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kepalaku tertunduk seolah merasakan aku telah kalah. Membuat ubin-ubin penyusun lantai ruangan ini terlihat jelas oleh mataku.

Aku juga bisa menangkap kedua tanganku yang menenteng tas besar disebelah kanan serta koper berukuran sedang disebelah kiri. Pearasaan malasku semakin muncul, rasanya ingin sekali aku berbalik arah kemudian berlari kencang, melempar dua benda ditanganku ini tanpa memperdulikannya dan kabur dari tempat ini. Tapi tidak, aku tak melakukannya. Jika setahun bahkan seminggu yang lalu aku masih punya alasan untuk menolak ajakannya bahkan sekedar menunda bersekolah di pert dan berkumpul lagi dengan ayahku, sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk melakukannya. Bahkan semua telah berbalik, mungkin sebaiknya memang aku pergi. Aku ingin pergi. Hmm,.. bukan aku tak ingin, tapi aku harus. Akhh.. entahlah aku sudah tak tahu lagi.

“Gabriel.” Teriak seorang wanita lagi, cukup samar. Tapi aku tahu itu suara wanita.

Aku hampir mengumpat tertahan. Kukira itu ibuku. Tapi sedetik kemudian aku tersadar, itu bukan suara ibuku. Aku mendongak, didepan sana kudapati ibuku masih berjalan, tampaknya ia tak mendengar ada yang menyebut namaku, atau bahkan memanggilku dengan sengaja.

“Gabriel.”

Lagi. Suara itu?

Aku menoleh cepat. Belum sempat aku melempar pandangan, seseorang menubruk tubuhku dan melingkarkan kedua tangannya, memelukku erat. Aku hampir saja jatuh kebelakang, tapi tubuh orang ini tidak cukup untuk merobohkan pertahananku.

Mataku bertemu pada dua buah kornea hitam didepan sana. Ia menatapku tajam, gerahamnya yang kuat seolah berperang dengan kendalinya sendiri. Detik berikutnya matanya berkedip, tatapannya berubah tak setajam tadi. Nafasnya berhembus kasar. Pria itu berdiri seolah memberi jarak. Tentu saja ia menunggu disana dihadapanku dan seseorang yang memelukku ini sekitar 5 meter. Ia membiarkan lalu lalang orang menghalangi pandangannya.

Dengan menghiraukan tatapan pria itu, aku membalas pelukannya. Membiarkan rinduku bersemayam detik ini, dan aku berharap waktu berhenti sekarang juga.

Siapapun, hentikan waktu sekarang juga!!!

Ia membenamkan wajahnya didadaku dan aku membenamkan wajahku dilehernya. Posturku yang lebih tinggi membuatku memaksakan ini. Tak apa. Yang penting aku sangat nyaman.

Biarkan saja orang-orang melihatku dengan tatapan aneh termasuk pria itu. Biarkan saja, ibuku mengomel lagi karna aku tak kunjung menyusulnya. Biarkan saja detak jantungku beradu dengan aliran darahku yang deras. Biarkan saja keringatku mengucur karna rasa gugupku yang terlalu hebat. Dan kumohon biarkan saja, gadis ini tetap memelukku seperti ini.
***


“vi, buruaann!!!.” Teriakku didepan gerbang rumah.

“iya..” jawabnya.

Sivia masih sibuk mengikat tali sepatunya diteras rumah. Sedangkan aku sudah gelisah menunggunya sambil sesekali melirik kearah matahari.

Aku memang tidak suka memakai jam tangan dan dengan melihat bagaimana cahaya matahari saja aku sudah tahu jam berapa sekarang. Sivia berlari keluar gerbang rumahnya yang berjarak 3 langkah saja dari tempatku berdiri. Rumah kami memang bersebelahan tanpa penghalang apapun. Kecuali tembok tentunya.

“ayook!!.” Aku menggamit lengannya.

Kami mengambil langkah lebar menuju halte depan gapura kompleks. Aku masih menggandeng sivia, gadis ini akan semakin tertinggal kalau kulepaskan.

“aduh iyel, kaki kamu panjang banget sih? Aku jadi lari-lari nih.” Eluh sivia. Ia tertinggal satu langkah dariku.

“kalo ga gini nanti kita ketinggalan bis yang biasanya. Nah itu dia bisnya.” Ucapku.


Aku melihat bis itu berhenti di halte. Beberapa anak berseragam smp maupun sma naik, dua orang berseragam rapi akan ke kantor juga ikut naik. Bis itu nampak akan segera berangkat lagi. Sialnya kami belum sampai di gapura apalagi menyebrang ke halte itu.


“ ayo vi!.” Ajakku.

Kini kami tidak berjalan lagi. Aku berlari dan sivia, ia semakin berlari ketika menyadari bis itu akan segera meninggalkan kami.


“tunggu paakk!!.” Teriakku keras.

Aku berharap sopir itu mendengarnya. Atau kalau tidak, kondekturnya, atau beberapa penumpanglah minimal.

“pak stop pak.” Teriak sivia kali ini.kami masih berlari mengejar bis itu yang mulai berjalan lagi. Sivia dan aku sudah berhasil menyebrang, sayangnya bis itu sudah berjalan ketika kami sampai di halte.

Aku menambah kecepatan berlari, tanpa sadar tanganku masih menggandeng sivia. Gadis itu bersusah payah mengikuti kecepatan lariku. Cara berlarinya membuatnya mulai kehilangan keseimbangan.

Buuggg..

Tanganku tertarik kebawah. Aku hampir saja terjatuh karena itu. Ketika aku menoleh, sivia sudah tersungkur dijalan aspal.

“sivia..” pekikku menyadari gadis ini terjatuh.

Posisinya parah sekali untuk dilihat. Apalagi sebelah tangannya yang masih kugenggam membuatnya tak bisa menahan tubuhnya agar tak terbentur aspal.

“aduuhh..” erangnya. Ia duduk diatas aspal yang membuatnya mengerang kesakitan. Lutunya ditekuk, menampakkan sebuah luka lebar menganga disana. Mataku membelalak, darah merah mulai mengalir dari lukanya.

“sakit yel.” Lanjutnya

Aku ikut berjongkok didepannya, awalnya aku bingung harus melakukan apa kecuali, aku membuka resleting tas ranselku. Syukurlah, ada sapu tanganku didalamnya.

“pake ini dulu yah, nanti disekolah aku obatin.” Ucapku meyakinkan.

Sivia mengangguk. Kubalutkan sapu tangan putihku di lututnya. Bercak merah mulai tampak disapu tanganku itu.

“hey.. jadi naek nggak???” teriak seseorang dibalik punggungku. Aku menoleh kaget.

Seorang kondektur berdiri disamping pintu belakang bis yang sedang berhenti. Seorang pria berseragam sekolah berjalan menghampiri.

“jadi pak, tunggu sebentar.” Ucap pria itu sambil terus berjalan kearah kami.

“iel?.” Ucapnya.

“Alvin?.” Ucapku.

“kalian gak pa-pa kan?” tanyanya kemudian setelah menyadari posisi kami yang terduduk dijalanan aspal.

“ayok, keburu bisnya gak mau nunggu.” Ucapnya lagi.

Aku menoleh pada sivia, ia masih meringis kesakitan. Aku bisa melihat sebenarnya ia hampir menangis. Tapi tak jadi, mungkin karna ada orang lain disini sekarang.

“masih bisa kan vi?.” Tanya ku

Sivia mengangguk pasrah. Aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju bis yang sopirnya sudah menekan klakson berkali-kali serta beberapa penumpang yang menunggu kami tak sabar.

Bis ini cukup penuh, sudah tak ada tempat duduk yang tersisa. Bahkan sudah ada beberapa orang yang berdiri saat kami naik. Aku menatap sivia prihatin, peluh keluar dari dahi serta bagian kulit wajahnya yang halus. Sementara kakinya, ia pasti sangat kesakitan jika terus berdiri. Bagaimana mungkin aku tega melihatnya begini?

Tiba-tiba alvin melepas ransel dari punggungnya lalu meletakkannya dilantai bis. Ia menepuk-nepuk ranselnya lalu memandang kearah sivia. Ia berjongkok didepan kami. Keningku mengerut melihatnya.
Kami masih berada didekat pintu belakang. Sivia tak sanggup berjalan lagi untuk sekedar masuk ketengah-tengah bis.

“duduk disini, isinya cuma buku aja kok.” Ucapnya yakin sedikit mendongak. Aku melongo cukup kaget atas perilakunya. Aku bahkan tak sampai berfikiran seperti itu. sivia menoleh kearahku ragu, aku mau tak mau mengangguk. Aku tak ingin membiarkannya semakin tersiksa dengan berdiri dalam keadaan lutut yang luka.

Aku sempat merutuki diriku sendiri kenapa tak bisa berfikir sekreatif alvin. Tapi sudahlah yang terpenting sivia bisa duduk sekarang yah meskipun akan terlihat seperti dilantai bis. Aku berjongkok disampingnya.

Hampir semua pandangan penumpang mengarah pada kami bertiga.

“thanks ya vin.” Ucapku. Alvin mengangguk saja menimpali.

“oh ya vi, kenalin ini alvin temen smpku dulu.” Ucapku. Sivia memandang alvin lama, alvin menunjukkan senyumnya.

“alvin.” Ucap temanku itu sambil menyodorkan telapaknya.

“sivia.” Ucap gadis ini menyambut jabatan tangan alvin.

“makasih ya.” Tambah sivia.

Alvin mengangguk seraya tersenyum lagi. Jabatan tangan itu masih terjadi. Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa sangat perih. Aku seperti merasa akan kehilangan.

Sejak pertemuan di bis itu, sivia dan alvin semakin dekat. Awalnya aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku cukup tau Alvin. Tiga tahun aku duduk sebangku dengan pria itu. Ia pria yang baik. Tapi aku sadar kedekatan mereka lebih. Bahkan hingga hari ketujuh setelah perkenalan mereka, aku tak tahu sedekat apalagi mereka. Aku sering melihat Alvin datang kemari, kerumah sebelah, tepatnya rumah sivia. Aku juga sempat melihat Alvin mengantar sivia pulang kemarin.

Sivia mulai agak menjauh dariku. Mm..bukan. tapi jarak kami yang sedikit mulai menjauh. Aku memang masih berangkat bersamanya, tapi didalam bis, selalu sudah ada Alvin dan saat itulah aku seperti sulit untuk masuk dalam dunia sivia, dunia mereka. Keduanya sering tak sadar, aku berada didalam bis yang sama dengan mereka.

Entah sejak kapan alvin jadi suka naik bis, karna seingatku dulu ia tak suka naik transportasi umum. Mungkin hari itu kebetulan alvin terpaksa naik bus dan mulai hari itu pula ia selalu naik bus hingga kami selalu bertemu. Tepatnya sivia dan alvin selalu bertemu. Aku tahu aku sudah merasakan rasa yang tak wajar. Perasaan yang tak baik untuk tetap ada. Aku merasakan iri melihat kedekatan mereka, aku merasa sakit hati melihat mereka berdua mengobrol, bercanda, tertawa bahkan alvin pernah menolong sivia yang hampir jatuh dari pintu bis yang belum sepernuhnya berhenti.

Aku merasa posisiku dulu sudah tergantikan. Seperti saat ini, aku hendak mengajaknya pergi, dan kalian tahu sivia berkata apa? Gadis itu berkata...

“hey vi. Mm... aku ada tanding futsal nih, kamu nonton yah?. Emm masih sparring aja sih sebenernya, tapi kamu mau nonton kan?” tanyaku

Ia berpakaian cukup rapi. Semoga saja ini waktu yang tepat untuk mengajaknya pergi agar kedekatan kami yang sempat merenggang selama seminggu ini bisa kembali seperti dulu.

“mm… sorry yel, tapi aku ada janji mau nonton pertandingan basket Alvin. Kamu cuma sparring kan? Lain kali aja yah, kalo kamu tanding beneran aku bakal nonton kok. Ga pa-pa yah?.” Sivia menatapku tak enak hati.

Begitulah jawaban ia menolak ajakanku. Sesungguhnya aku lebih memilih dia berbohong saja daripada berkata jujur begini. Sakit sekali rasanya mendengar ia akan pergi menonton pertandingan basket Alvin, orang yang baru dikenalnya sekitar seminggu ini daripada pertandinganku sahabatnya sejak tiga tahun lalu.
“ngg.. yauda ga pa-apa kok.” Ucapku tak ikhlas.

Mungkin benar istilah orang-orang yg berkata
Dibalik “cie” ada kecemburuan
Dibalik “gpp” ada masalah
Dibalij “terserah” ada keinginan
Dan dibalik “yaudah” ada kekecewaan. Benar!! aku tengah kecewa sekarang.

“oke.. bye iyel.” Pamitnya

Aku memandang punggungnya bergerak melewati gerbang. Ternyata itu alasan ia berpakaian rapi sore ini. Dengan sadar aku berjalan kembali memasuki rumah.

“loh kenapa balik yel?.” Tanya ibuku.

“gak jadi pegi ma.” Ucapku malas.

Aku duduk disofa ruang tengah, melempar asal tas berisi perlengkapan futsalku.

“kok gitu, katanya mau tanding?.” Tanya beliau lagi.

“pertandingannya gak penting kok.” Ucapku berusaha santai.

Aku bisa melihat kening ibuku mengerut. Seolah berfikir aneh sekali dengan sikapku. Benar saja, aku tak pernah melewatkan satu latihanpun dari futsal, jadi bagaimana mungkin aku bisa dengan santai berkata ‘ pertandingan futsalku tidak penting’ itu sangat aneh menurut beliau pasti. Dan aku tidak memungkirinya.

“trus gimana yel sama tawaran mama tadi? Kamu ikut kan? Sebentar lagi kenaikan kelas loh yel.”

“aku uda bilang berapa kali sih sama mama. Aku gak mau pindah ke australia. Kalo mama mau pergi kesana ya kesana aja!. Iel ga apa-apa kok sendirian.” Jelasku.

Perasaanku semakin bertambah buruk saja sekarang.

“sendirian? Kamu pikir mama mau tinggalin kamu sendirian disini?.”

“mama gak percaya sama aku? Aku bakal baik-baik aja kok. Aku uda gede. Aku tau mana yang baik dan enggak. Lagian disini juga ada...”

“ada siapa? Sivia?” potong ibuku

Ia menatapku tajam. Aku membalas tatapannya enggan.

“sampe kapan kamu mau ngandelin dia? Minta bantuan dia apa-apa kalo mama gak ada? Memangnya dia gak kerepotan apa?.” Tanya ibuku bertubi-tubi.

Benarkah? Apa benar ucapan ibuku? Apa benar aku merepotkan sivia?

Selama ini aku selalu mengandalkannya memang. Ia memasakkan makanan untukku ketika ibu harus pulang malam bekerja. Ia membantuku mmembersihkan rumah yang berantakan ketika aku sibuk bermain futsal. Ia? Benar, mungkin aku memang terlalu merepotkan.

“iel ngerepotin sivia ya ma?” ucapku pelan.

Hari ini, aku tidak berangkat dengan sivia. Aku masih kepikiran ucapan mama, apa benar aku merepotkan gadis itu?.

Aku berangkat agak siang. Aku yakin sivia juga tak akan menungguku, toh didepan sana sudah ada alvin yang siap didalam bis langganan kami. Sudah ada pria yang menjaganya. Tapi apakah aku rela membiarkannya? Menggantikan posisiku menjaga sivia?. Aku bahkan memberinya ruang gerak pagi ini.
Tidak!!!. Pria itu, alvin, ia tak pernah tahu bagaimana aku menjaga gadis itu selama ini. Ia tak pernah tahu bagaimana aku jatuh bangun mengejar sivia. Dan satu hal yang harus dia tau, semua tak akan mudah. aku tidak akan melepas sivia. Aku tak akan melepaskan sivia demi apapun. Kecuali sivia yang memintanya. Gadis itu yang belum menjadi gadisku.

Aku beranjak dari sofa. Aku sudah selesai mengikat tali sepatu sejak tadi sebenarnya, tapi karna fikiran bodohku itu aku jadi melamun saja membiarkan waktu meninggalkanku sendiri tanpa sivia.

Hari ini, tepat dua bulan setelah kejadian dalam bis itu. Hari ini juga pembagian rapor kenaikan kelas. Aku sudah menerima raporku sejak tadi. Setelah itu, Aku menunggu kedatangan sivia ditaman sekolah. Ingin sekali kutunjukkan padanya bahwa raporku semester ini amatlah sangat membanggakan. Aku tak peduli jika ibuku menungguku dirumah, menanti bagaimana hasil belajarku selama ini. Yang terpenting sekarang adalah aku ingin menunjukkannya dulu pada sivia. Dia gadis pertama yang ingin kuberi tahu.

Dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi yang terbaik dikelas. Dan ketika itu bisa terjadi, akan kuungkapkan perasaanku padanya. Akan kunyatakan rasa yang kumiliki ini. Akan kujelaskan betapa ia begitu berharga dalam hidupku. Dan inilah waktunya.

Menunggu sivia membuatku jadi gugup sendiri, jantungku berdegup kencang. Sekalipun aku sudah menghembuskan nafas menenangkan berkali-kali tetap saja tak berhasil. Aku gusar, menantinya dan menanti ucapanku sendiri.

Tak lama gadis itu datang, ia tersenyum. Senyum yang selalu kubayangkan kembali sebelum tertidur saat malam. Ia berjalan tenang, tapi bisa kulihat ia sangat senang sekali. mungkin ia mendapat nilai bagus atau kabar gembira yang lain. Semoga dengan pernyataanku nanti aku bisa menambah bahagianya hari ini.

“hay fy... aku mau ngomong sama kamu.” Ucapku mengawali.

Aku berusaha keras menyembunyikan rasa gugupku. Okeeh aku memang tidak berpengalaman, tapi kuharap aku bisa melakukannya.

“aku juga mau ngomong sama kamu yel.” Ucapnya sangat sumringah. Sungguh dengan mata terpejamkupun aku bisa melihat kebahagiaan terpancar dimatanya.

“oh yaudah kamu duluan deh yang ngomong. Ladies first.” Ucapku sok-sok’an. Sivia tertawa lebar.

“oke, yang pertama nilaiku diatas 85 semua yel. Yeee...” ucapnya semangat. Ia sempat melompat-lompat kegirangan.

“wahh... bagus tuh. Kayaknya aku bakal dapet traktiran deh.” Ucapku berbasa-basi. Ia berhenti melompat.

“eumm.. gak itu aja. Itu masih biasa kok. Mmm kamu tau gak...apa yang bikin aku lebih seneng?.”

Sivia menunjukkan ekspresi paling menggemaskan yang ia punya. Jantungku berdegup semakin cepat. Ya tuhan,, itulah salah satu alasan mengapa aku sangat merindukannya setiap detik. Aku menggeleng pelan.

“alvin nembak aku yel, kita udah jadian tadi pagi. Yee...” ucapnya girang lagi.

DEGG...
Hening. Bukan,, bukan karna sivia tak bersuara lagi, sivia masih lompat kegirangan. Tapi telingaku, telingaku seolah baru saja tersambar petir sehingga membuatnya tak bisa mendengar apapun lagi. Aku sudah tak bisa merasakan apapun lagi. Jantungku berhenti berdetak mungkin. Darahku berhenti mengalir. Nafasku tercekat ditenggorokan.

Mataku tak berkedip. Aku menatapnya nanar. Apa benar yang baru kudengar? Tuhan, silahkan ambil nyawaku sekarang.

“kamu kenapa yel?. Gak seneng yah?.” Ucap sivia sedih menyadari aku yang tak bereaksi apa-apa.

Aku menggeleng lemah. Aku masih bertahan dengan sisa nafas yang belum kuhembuskan sebelum sivia berucap tadi. Kubiarkan saja paru-paruku tak terisi oksigen. Biar, biar aku bisa merasakan sakit pada paru-paruku. Dengan begitu mungkin aku bisa menutupi rasa sakit pada hatiku.

“yel?. Kamu kenapa?. Rapot kamu baguskan?. Kamu naik kelas kan?.”

Aku mengangguk lemah. Sungguh, aku tak bermaksud untuk tak menjawab pertanyaannya. Tapi rasanya suaraku sudah diambil tuhan.

“beneran yel?. Ato Kamu sakit yah? Muka kamu kok tiba-tiba pucet?.”

Mataku menatapnya nanar lagi. Benarkah wajahku berubah pucat. Oh mungkin karna aku baru tersambar petir. Suaraku sudah diambil tuhan. Pendengaranku juga. Mungkin sebentar lagi nafasku. Jadi pantas saja kalau aku pucat.

“aku anter kamu pulang deh ya. Makan-makannya lain kali aja.” Ucapnya.

Kamu benar. Mana mungkin aku bisa makan. Bernafaspun aku sudah tak berniat. Aku mengurung diriku di kamar. Membenamkan wajahku pada tempat tidurku sendiri. Ibuku sempat panic melihatku yang pucat pasi. Setibanya tadi, ia langsung mengecek raporku, barangkali nilai disana yang membuatku begini. Andai aku bisa menjerit, bukan. Bukan itu.

Hari sudah malam, aku bisa melihatnya lewat kaca jendela kamar yang masih terbuka tirainya. Tadi sebelum aku tertidur, aku berifikir sesuatu. Sesuatu yang mungkin terbaik dan membiarkan aku jadi seorang pengecut. tapi aku leih baik jadi pengecut daripada mengusik kebahagiannya.

Aku turun menemui ibuku yang berada diruang tengah. Ia menyambutku hangat. Meski tak tahu apa yang sedang terjadi padaku.

“kamu makan ya nak. Mama ambilin.” Ucapnya.

“iel mau ngomong ma.”

Ibuku berhenti melangkah, mendengar nada suaraku yang serius. Beliau duduk kembali.

“apa?.”

“ma, iel bersedia sekolah di australi.” Ucapku parau. Aku menghembuskan nafas berat. Susah sekali aku mengucapkan itu.

“kenapa?.”

“mama gak perlu tahu alasannya. Yang penting iel mau.” Ucapku

“tapi?. Baiklah kalau begitu. Kapan?.” Wajahnya tak menegang lagi.

“besok? Bisa?.” Tanyaku tak yakin.

“secepat itu?.” Tanya ibuku tak percaya.

Aku mengangguk. Iya lebih cepat lebih baik. Toh aku sudah kalah, sudah saatnya aku pulang. Pulang tanpa dendam akan kekalahanku atau berniat merebut gadis itu. Aku tidak akan melakukannya. Melihat gadis itu tersenyum seperti tadi pagi, sudah cukup untuk meyakinkanku Alvin bisa membuatnya bahagia. Bahkan lebih bahagia daripada saat bersamaku.

“oke. Mama akan telfon papa. Kamu siap-siap yah!.” Perintah beliau.

Aku mengangguk. Dengan berat hati kutinggalkan perempuan paruh baya yang duduk disofa itu. Aku tahu pasti tanda Tanya besar ada diotaknya sekarang. Mungkin pertanyaan macam ini. ‘bagaimana bisa? Ada apa?’ benar. Karna sebelumnya aku selalu menolaknya mentah-mentah.

Tentu saja, untuk apa sekarang aku menolak lagi. Aku sudah tak punya alasan. Aku sudah tak berkewajiban lagi menjaga gadis itu. Gadis itu sudah mempunyai penjaganya sendiri. Bahkan juga penjaga hatinya.


Aku melangkah menuju balkon rumah dengan menenteng sebuah gitar. Menikmati sejenak hembusan angin malam yang mungkin sudah tak kan kurasakan lagi esok ditempat ini. Malass sebenarnya aku bersenandung. Atau sekedar memetik senar-senar gitar ini. Tapi entah aku ingin mempersembahkan sesuatu pada langit kota ini untuk yang terakhir. Aku ingin mencurahkan perasaanku pada bintang malam.

Semula ku tak yakin
Kau lakukan ini padaku
Meski di hati merasa
Kau berubah saat kau mengenal dia
Reff:
Bila cinta tak lagi untukku
Bila hati tak lagi padaku
Mengapa harus dia yang merebut dirimu
Bila aku tak baik untukmu
Dan bila dia bahagia dirimu
Aku kan pergi meski hati tak akan rela
* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu
“aku cinta kamu vi. Aku cinta kamu.” Ucapku lirih pada wajah sivia yang terlukis dilangit.

***

“aku udah tau semuanya.” Ucapnya melepas pelukan hangat ini.

Mataku membelalak lebar

Darimana?

“yah.. aku tahu. Alvin yang bilang. Kenapa kamu gak jujur aja sih?.”

Alvin? Kamu tau dari Alvin. Lalu Alvin tau darimana?. Oh aku lupa kalo alvin laki-laki. Ia pasti tahu sekali bagaimana perasaanku padamu sivia. Tapi apa? Sudah tak ada gunanya juga bukan?.

Lagipula, kenapa harus dia yang memberi tahumu vi? Kenapa bukan kamu sendiri yang bisa tau? Tak bisakah kamu membaca mataku? Tak bisakah kamu melihat perlakuanku? Tak bisakah kamu mendengar suara hatiku? Atau setidaknya bertanyalah pada langit dimana aku sempat berkata padanya dan kamu akan mendapat jawabannya?.

“kenapa harus pergi sih yel?. Kamu gak mau yah temenan sama aku lagi gara-gara aku gak bisa bales perasaan kamu?.”

Aku menggeleng keras.

“bukan. Bukan itu. Bisa mencintai kamu aja itu udah cukup buat aku.” Ucapku tersenyum.

“terus?.” Kening sivia mengerut.

“aku harus meneruskan hidupku. Bukan begitu?. Aku tidak ingin mengganggu kalian.”

Sivia sudah memasang wajah tak terima.

“hey, sejak kapan kamu mengganggu?.”

“banyak alasan yang gak bisa aku sebutin vi, aku harus pergi. Aku harap kamu ngerti keputusanku.” Timpalku.

Sivia memasang wajah pasrah lagi. Gadis ini. Ya tuhan andai gadis ini tahu, setiap ekspresi wajahnya itu semakin memunculkan rasa cintaku dan mengeruknya semakin dalam.

Sivia mengangguk mengerti. Aku menghembuskan nafas berat.

“kamu harus raih cita-cita kamu disana. Dan kamu harus janji akan buka hati kamu untuk gadis lain. Hey gadis pert cantik-cantik loh.”

“haha aku suka gadis Indonesia.” Ucapku basa-basi.

“oh disana kan juga banyak pelajar indonesia.” Timpalnya

“janji yah?.” Tagihnya.

Aku berfikir sejenak.

“mm.. okeh.” Ucapku

Dalam hati aku berkata ‘enggak, aku gak janji vi.’

Sivia tersenyum lega. Ia lalu menoleh pada alvin. Alvin tersadar waktunya datang. Ia menghampiri kami.
Dan inilah tiba saatnya waktu kami terbagi lagi. Dimana dunia kami menjadi bertiga lagi setelah sempat beberapa menit lalu aku merasa dunia ini hanya milikku dan sivia. Seperti duniaku sebelum kedatangan alvin dulu.

“jaga sivia ya bro.” Ucapku sok-sok’an

“pasti. Tanpa lo minta.” Ucapnya yakin.

Aku mengangguk paham. Lalu berbalik arah hendak pergi.

“iyel.”panggil alvin.

“gue akan ngejaga sivia sebagaimana lo pernah jaga dia dulu. Thanks ya lo ada disaat garis takdir belum mempertemukan gue sama gadis yang gue cintai.” Ucapnya.

Aku meneguk salivaku lalu mengangguk saja.

“gabriel.” Teriak ibuku lagi. Ia merusak suasana ini.

“aku pergi. Bye” ucapku lalu meninggalkan mereka.

Samar-samar aku mendengar ketika langkahku menjauh.

“kamu memang bukan orang yang aku cintai yel. Tapi kamu special.” Ucap gadis itu, gadis yang pernah kuimpikan jadi gadisku.

* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu

END..