Senin, 11 Februari 2013

DALAM KESUNYIAN KASIH BUNDA, TUHAN BERSEMAYAM


Oleh Gyan Pramesty
Raganya tak lagi berjiwa. Kosong. Zombi-zombi nurani yang bergentayangan tanpa makna. Limbung. Langkahnya gontai. Terseok-seok dalam kelam yang mengekang.
Ia berlari, menembus pekatnya rerimbunan. Butir-butir peluh yang menghiasi dahinya menyaksikan liku demi liku resital pencariannya yang tak berdawai. Semakin limbung. Diterpa kegelapan, dilanda keterkutukan. Persendiannya yang kian bergemeretak, terus berputar, menapaki malam yang mengelam. Berlari dan terus berlari. Kakinya tak henti membentuk jejak kemerahan di atas hamparan yang tak lagi dikenalinya.
Dan sampailah ia, di sebuah padang tak bertuan. Hanya untaian debu yang menderu-deru, hanya bulir pasir yang terus menggulir, hanya kelam yang terus merajam-rajam. Padang bayang. Dimana hanya bayang yang memenuhi pandang.
“ dimana Dia?” ucapnya penuh kelirihan.
Semilir angin menjawab tanyanya, dengan bahasa yang tak sanggup dijamah logikanya. Berhembus menyajikan lara.
“ katakan! Dimana Dia?” teriaknya.
Deru-deru yang membatu, menyeduh pertanyaan keduanya dengan angkuh, kemudian menyajikannya diatas sebuah cawan. Mendeklamasikan jawaban yang terbalut metaforis imajiner.
 “ katakan! Dimana Dia? Dimana keagungan yang kalian sembah? Dimana Tuhan ?” katanya tak lagi sekedar kata. Terbuai amarah. Berubah menjadi sajak merah membara.
Purnama yang menjelang, menyunggingkan tanya. Sang kelam yang selalu setia di peraduannya menjawabnya dalam diam.
Rerimbunan bergetar, tertiup sepoi keheningan, memandang nanar kepada sosok kuyu yang menyala-nyala itu. Kain lusuh yang membalut tubuhnya, mungkin adalah kafan, yang akan menelan keterpurukannya sendiri. Dijawabnya pertanyaan ketiga dengan diam yang menggeretak.
“ tunjukan padaku dimana Tuhaaaaaaannn !!!”
Amarahnya kian mengalun mengisi rongga-rongga malam. Membentang luas menjembatani awan dengan tanah. Menggelegar.
“ manusia bodoh !” gumam semilir angin.
“ makhluk totol !” rutuk deru-deru yang membatu.
“ otak kerdil !” rintih rerimbunan.
“ matilah nuranimu !” kutuk sang malam.
“ hhh……!” desah purnama.
Nun jauh disana, awan bergelung dengan samudra. Menyesap madu kehitaman yang disuguhkan, menggelembungkan tubuhnya dan menumpahkannya dalam bentuk rintik yang menari-nari, menyemarakkan resital yang tak terekspektasi takdir.
Rintik berubah jadi hujan. Sang hujan bergumul dengan semilir yang terkamuflase oleh badai. Begitu semarak. Mebanjiri padang gersang dengan cairan kehitaman.
Tunjukan wajah-Mu! Dongeng sebelum tidur yang selalu membuai hari-hariku, selalu tentang keagungan, selalu tentang keadilan, dan berakhir kepada ketidak-mampuan-Mu merealisasikannya untuk hidupku.
Aku buta. Ayahku tak bernyawa. Bundaku tak bersuara. Cahaya yang kau renggut bertahun-tahun lalu, harus terlengkapi oleh ketiadaan ayahku, dan kesunyian kasih bundaku.
Adil yang Kau firmankan melalui utusan-utusan putihmu, tak menyentuh duniaku. Bergumul dengan ketiada-berdayaan, menyatu bersama keputus-asaan. Akulah si pemilik muram durja.
Si empunya tubuh, masih tepekur dalam tanya. Limbung ditelan badai air-mata. Melebur menjadi onggokan tulang yang tak bergerak.
***
Dimana dia?
Mereka menyemut membentuk barisan-barisan berlentera. Mengobrak-abrik sudut demi sudut ladang jagung kepunyaan Pak Haji Warsura. Mengabarkan pada temaramnya dewi malam, bahwa mereka tengah dalam pencarian.
Riuh-rendah gelombang yang dihasilkan puluhan daya pita suara yang bergetar, meneriakkan satu nama.
“ hadhiiiiii !”
“ hadhiiiii !”
Rombongan yang terdiri dari beberapa pemuda dan pria paruh baya itu tampak tengah mengobrak-abrik seluruh sudut. Mencari sesosok mahluk yang menghilang beberapa hari silam. Mencari Hadhi.
“ kita cari kemana lagi, Pak ?’ seorang pemuda akhirnya berhasil menyuarakan keletihannya kepada sosok sigap si pemimpin rombongan.
“ terus, cari kesana !”
Pak pendi, sang pemimpin rombongan tampak begitu gigih mencari bocah itu, bocah malang yang terlahir sebelum sempat mendengar alunan adzan dari mulut ayahnya. Fakta yang menyiratkan keyatiman bocah tersebut, bukan satu-satunya fakta mengenaskan yang menyulut semangat warga untuk menemukannya. Fakta lain, tentang ketidak sempurnaannya mengecap cahaya yang membuat mereka mencurahkan seluruh iba kepadanya, kepada ibunya yang tak lagi berkerabat.
Pencarian belum membuahkan hasil. Sosok yang mereka cari belum dapat mereka temukan. Kata “lelah” yang dikumandangkan tulang belulang mereka menuntut belas kasihan. Akhirnya, rombongan yang dipimpin oleh seorang lelaki bertubuh kekar itu memutuskan mengistirahatkan pencarian, setelah 4 jam lebih bergumul dengan sudut-sudut gelap di seluruh penjuru desa.
“ Bapak-bapak, hari sudah malam. Mungkin lebih baik kalau pencarian untuk hari ini kita sudahi dulu, kita lanjutkan besok,” ucap Pak Pendi, pemimpin rombongan.
Tanpa dikomandoi, mereka bubar teratur. Meninggalkan sesosok tubuh kuyu yang tampak menangis dalam keheningan. Bola matanya tampak kelabu.
“ dimana Dia?” gumamnya dalam hati “dimana anakku?” helaian rambutnya yang mulai memutih, bergerak-gerak dijamah semilir angin.
Bendungan yang susah payah dibangun di atas pelupuknya, hancur, tumpah ruah menghantam relung hatinya. Merintih tanpa nada.
Kerumunan yang tadi menyemut adalah anak kunci yang akan membuka penghijab Ia dan sang buah hati, Hadi. Yang hilang tiga malam lalu. Tapi kini kerumunan itu menghilang, terprofokasi kata lelah. Meninggalkan kesendiriannya.
“ paaaaaaaaaaaakkk!!!! Pakkk Pendiiiiii !!!!!” gelegar nada mengejutkan kerumunan yang hampir bubar itu.
Sesosok pria paruh baya, tampak terengah-engah menjajari langkah Pak Pendi.
“ kenapa Mang ?!” tanya Pak Pendi.
“ I,, It, tu Pak, di hh kali,, ad…” pria paruh baya itu berusaha menjelaskan maksudnya, kalimatnya tak utuh. Tak sempurna. Seperti ketaksempurnaan pemahaman Pak Pendi.
“ di kebon pisang Pak, ada… ada mayat.”
Benda berdetak yang bercokol di rongga dadanya seakan runtuh, jatuh memenuhi hamparan laranya.
“ mayat ?!”
***
Tubuhku mati rasa. Getaran-getaran yang disampaikan gemuruh angin dan hentakan bebatuan tak lagi menciptakan rasa. Aku menyaru jadi hantu. Terkukung dalam ketidak-sadaranku sendiri, tanpa jiwa, hanya dentuman kecil yang masih ku rasa memenuhi rongga di atas lukaku yang menganga.
Mata ketigaku masih sempurna, menyampaikan pesan damai yang dikirimkan gugusan semesta, yang menyembunyikan tubuh kecilku. Lewat mata ketigaku, aku melihat resital pemujaan yang terlontar dari gemulai rumput-rumput liar kepada dewa sukma. Lewat mata ketigaku pula, aku menyaksikan pertunjukan kecil yang dibintangi serangga-serangga kecil, yang mengumandangkan keagungan Sang Empunya Jagat.
“ mereka mengagungkan Nama Tuhan. Dan aku?” gumamnya.
Semburat penyesalan mengambil-alih hatinya. Pengingkaran membabi-buta yang dilakukannya bermalam-malam lalu, membuatnya rendah dan semakin rendah. Dibandingkan dengan mahkluk-mahkluk kecil yang selalu mensyukuri nikmat Tuhannya.
Sunyi. Sepi. Hanya ia dan penyesalannya.
Tiba-tiba, Desah alam semesta menghilang ditelan hiruk-pikuk yang entah datang dari mana. Derap-derap langkah menghantam bumi. Getaran yang mampu ditangkap mata ketiganya begitu dahsyat, seolah mengaburkan rasa sakit yang selama ini menggerogotinya. Bising.
” itu pakk !!! itu!!! Disana!!”
Suara siapa itu, gumamnya masih dalam diam.
Begitu banyak suara yang datang tiba-tiba, menghantam ketidak-sadarnnya. Membuka portal rasa sakit yang makin menusuk. Berderap-derap, bergemuruh, menghantamnya bersamaan. Padang kesunyian tempatnya terdampar berubah menjadi padang arafah berjubal dosa. Begitu semarak, teriakan dan suara-suara lain yang tak dapat diinterpretasikannya bersahutan.
“ Hadhi !” sebentuk suara menyebut namanya, berat dan terasa lirih.
Tubuhnya tetap mati rasa, kebal oleh semua hantaman yang melandanya.
Dimana aku? Siapa mereka? Izrailkah? Ia masih bergumam dalam diamnya.
Kehangatan yang tiba-tiba mendekap tubuh lunglainya, membuka pintu kesadarannya. Laksana embun yang memadamkan gejolak persendiannya yang luluh-lantak, kehangatan itu membalur tubuhnya. Kekuatan penyembuh maha dahsyat dirasakannya.
Bunda, bundakah ini?
Ya Tuhan, ini bundaku. Tangan yang selalu mendekapku dengan kehangatan yang sama, tangan bundaku. Aku rindu. Aku menyesal. Ia segalanya, Tuhan.
Ketidakmampuan mengubahnya menjadi pengutuk ulung, pencerca tangguh. Adalah ketidak puasan, Butir-butir ambigu yang mengalir melalui desah nafasnya. Adalah penyesalan, derap molekul kemerahan yang mengaliri arterinya. Menghardik sang empunya jagat, menistakan keadilan kasat mata yang tak pernah sanggup dijamah penglihatannya. Tanpa tahu bahwa sesungguhnya ada sesuatu yang lebih berharga dari akumulasi nilai kebahagiaan si kaya di seluruh dunia, kasih bundanya. Yang selalu menantinya dalam kesunyian.
Dalam keheningan sang bunda mendekapnya. Keheningan yang mengungkapkan segalanya. Cahaya yang terpancar dari buku-buku jarinya mengumandangkan rasa syukur, tubuh yang Ia dekap masih menderu-derukan rintihan. Bukan seonggok mayat.
***
Maafkan bunda, Sayang. Maafkan ketidak berdayaan bunda.
Maafkan aku, Bunda. Maafkan keegoisanku.
Dialog yang tercipta dari keheningan membentuk aliran kedamaian yang teramat sangat.
***
 
Demikianlah Cerpen Ibu, sepenggal pemujaan yang sangat layak tervisualisasikan. Semoga bermanfaat serta semoga dapat dijadikan refensi tentang kedalaman kasih bunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar